Dikenal sebagai Hanabila
Orang awam mengenal mereka sebagai Hanabila
Mereka mengatakan bahwa Ibnu Taimiyyah
atau Ibnu Qoyyim Al Jauziah yang mengikuti
Ibnu Taimiyyah atau Muhammad bin Abdul
Wahhab yang mengikuti Ibnu Taimiyyah
namun tidak pernah bertatap muka karena
masa kehidupannya terpaut 350 tahun lebih
atau para pengikut Muhammad bin Abdul
Wahhab seperti Al Albani adalah sebagai
Hanabila yakni pengikut Imam Ahmad bin
Hanbal.
Pada kenyataanya mereka bukanlah Hanabila.
Contohnya Al Albani dalam perkara cara sholat
sudah jelas tidak mengikuti Imam Ahmad bin
Hanbal.
Al Albani menetapkan cara sholat berdasarkan
upaya pemahamannya sendiri secara otodidak
(shahafi) terhadap Al Qur’an dan As Sunnah
sedangkan beliau tidak dikenal sebagai ahli
istidlal atau tidak dikenal berkompetensi
sebagai Imam Mujtahid Mutlak dan tidak ada
satupun nama mazhab yang dinisbatkan
dengan namanya. Namun amat disayangkan
beliau menamakan atau tepatnya memastikan
hasil ijtihadnya sebagai sifat sholat Nabi
sehingga dapat menyesatkan orang banyak
karena terkecoh dengan judulnya. Seharusnya
diberi judul “cara sholat berdasarkan upaya
pemahaman Al Albani” atau cara sholat ala Al
Albani.
Dalam dialog antara Syaikh al Buthi bersama
Al Albani sebagaimana yang telah disampaikan
dalam tulisan pada http://
mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/06/
bidah-yang-gawat/
Al Albani menyampaikan bahwa,
“Sebenarnya manusia itu terbagi menjadi tiga,
yaitu muqallid (orang yang taqlid),
muttabi’ (orang yang mengikuti) dan mujtahid.
Orang yang mampu membandingkan madzhab-
madzhab yang ada dan memilih yang lebih
dekat pada al-Qur’an adalah muttabi’. Jadi
muttabi’ itu derajat tengah, antara taqlid dan
ijtihad.”
Berikut kutipan dialognya
****** awal kutipan ******
Ulama Al-Albani menjawab: “Sebenarnya yang
diharamkan bagi muqallid itu menetapi satu
madzhab dengan keyakinan bahwa Allah
memerintahkan demikian.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Jawaban Anda ini
persoalan lain. Dan memang benar demikian.
Akan tetapi, pertanyaan saya, apakah seorang
muqallid itu berdosa jika menetapi satu
mujtahid saja, padahal ia tahu bahwa Allah
tidak mewajibkan demikian?”
Al-Albani menjawab: “Tidak berdosa.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Tetapi isi buku yang
Anda ajarkan, berbeda dengan yang Anda
katakan. Dalam buku tersebut disebutkan,
menetapi satu madzhab saja itu hukumnya
haram. Bahkan dalam bagian lain buku
tersebut, orang yang menetapi satu madzhab
saja itu dihukumi kafir.”
Menghadapi pertanyaan tersebut, ulama al-
Albani terdiam.
***** akhir kutipan *****
Jadi bagi Al Albani , kaum muslim dilarang
menjadi muqallid (orang yang taqlid) dan bagi
yang tidak berkompetensi sebagai mujtahid
seharusnyalah menjadi muttabi’ (orang yang
mengikuti) yakni membandingkan madzhab-
madzhab yang ada dan memilih yang lebih
dekat pada al-Qur’an dan As Sunnah.
Kalau begitu bagaimana nasib kaum muslim
yang tidak mempunyai kemampuan untuk
membeli kitab-kitab hadits ataupun tidak
mempunyai waktu dan kompetensi untuk
membandingkan madzhab-madzhab yang ada
dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an
dan As Sunnah ? Apakah mereka akan masuk
neraka karena mengerjakan perkara terlarang
yakni menjadi muqallid (orang yang taqlid) ?
KH. Muhammad Nuh Addawami
menyampaikan,
***** awal kutipan *****
Mengharamkan taqlid dan mewajibkan ijtihad
atau ittiba’ dalam arti mengikuti pendapat
orang disertai mengetahui dalil-dalilnya
terhadap orang awam (yang bukan ahli istidlal)
adalah fatwa sesat dan menyesatkan yang
akan merusak sendi-sendi kehidupan di dunia
ini.
Memajukan dalil fatwa terhadap orang awam
sama saja dengan tidak memajukannya. (lihat
Hasyiyah ad-Dimyathi ‘ala syarh al- Waraqat
hal 23 pada baris ke-12).
Apabila si awam menerima fatwa orang yang
mengemukakan dalilnya maka dia sama saja
dengan si awam yang menerima fatwa orang
yang tidak disertai dalil yang dikemukakan.
Dalam artian mereka sama-sama muqallid,
sama-sama taqlid dan memerima pendapat
orang tanpa mengetahui dalilnya.
Yang disebut muttabi’ “bukan muqallid” dalam
istilah ushuliyyin adalah seorang ahli istidlal
(mujtahid) yang menerima pendapat orang lain
karena dia selaku ahli istidlal dengan segala
kemampuannya mengetahui dalil pendapat
orang itu.
Adapun orang yang menerima pendapat orang
lain tentang suatu fatwa dengan mendengar
atau membaca dalil pendapat tersebut padahal
sang penerima itu bukan atau belum termasuk
ahli istidlal maka dia tidak termasuk muttabi’
yang telah terbebas dari ikatan taqlid.
Pendek kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam
istilah ushuliyyin adalah ijtihad seorang
mujtahid mengikuti ijtihad mujtahid yang lain.
***** akhir kutipan *****
Jadi muttabi bukanlah sebagaimana yang
dikatakan oleh Al Albani sebagai “derajat
tengah, antara taqlid dan ijtihad” namun
muttabi adalah orang yang mengikuti pendapat
orang lain karena dia ahli istidlal.
Sedangkan orang yang menerima atau
mengikuti pendapat orang lain walaupun
mengetahui dalilnya namun bukan ahli istidal
adalah sama-sama muqallid, sama-sama taqlid
dan menerima atau mengikuti pendapat orang
tanpa mengetahui dalilnya.
Kompetensi sebagai ahli istidlal adalah
sebagaimana yang disampaikan KH.
Muhammad Nuh Addawami yakni
*****awal kutipan *****
a. Mengetahui dan menguasai bahasa arab
sedalam-dalamnya, karena al-quran dan as-
sunnah diturunkan Allah dan disampaikan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam
bahasa Arab yang fushahah dan balaghah
yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan
dalam, mengandung hukum yang harus
diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainya
bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu
yang bersangkutan dengan bahasa arab itu
seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani,
bayan dan badi’).
b. Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh,
sebab kalau tidak, bagaimana mungkin
menggali hukum secara baik dan benar dari al-
Quran dan as-Sunnah padahal tidak menguasai
sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan as-
Sunnah itu yang beraneka ragam yang masing-
masing mempengaruhi hukum-hukum yang
terkandung di dalamnya seperti ada lafadz
nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada
lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang
umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada
yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah
selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan
mansukh dan lain sebagainya.
c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli
penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-
masalah yaqiniyah qath’iyah.
d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh
dan mengetahui asbab an-nuzul dan asbab al-
wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang
ahad, baik dalam al-Quran maupun dalam as-
Sunnah. Mengetahui yang sahih dan yang
lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.
e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang
berhubungan dengan tata cara menggali hukum
dari al-Quran dan as-Sunnah.
Bagi yang tidak memiliki kemampuan, syarat
dan sarana untuk menggali hukum-hukum dari
al-Quran dan as-Sunnah dalam masalah-
masalah ijtihadiyah padahal dia ingin
menerima risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam secara utuh dan kaffah, maka tidak
ada jalan lain kecuali taqlid kepada mujtahid
yang dapat dipertanggungjawabkan
kemampuannya.
Diantara para mujtahid yang madzhabnya
mudawwan adalah empat imam mujtahid,
yaitu:
- Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;
- Imam Malik bin Anas;
- Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ;
dan
- Imam Ahmad bin Hanbal.
***** akhir kutipan *****
Perkataan Al Albani yang terkenal adalah “Aku
membandingkan antara pendapat semua imam
mujtahid serta dalil-dalil mereka lalu aku ambil
yang paling dekat terhadap al-Qur’an dan
Sunnah.”
Secara logika, seseorang yang mampu
menghakimi pendapat-pendapat Imam Mazhab
yang empat dengan barometer al-Qur’an dan
As Sunnah, jelas ia lebih berkompetensi atau
lebih pandai dari Imam Mazhab yang empat.
Imam Ahmad bin Hanbal yang memiliki
kompetensi dalam berijtihad dan beristinbat
atau berkompetensi sebagai Imam Mujtahid
Mutlak, tentu beliau lebih berhak “menghakimi”
Imam Mazhab sebelum beliau. Namun
kenyataannya beliau tetap secara independen
berijtihad dan beristinbat atas sumber atau
bahan yang dimilikinya dengan ilmu yang
dikuasainya.
Begitupula sumber untuk melakukan ijtihad dan
istinbat sebagaimana yang telah dimiliki oleh
Imam Mazhab yang empat telah sangat jauh
berkurang.
Contohnya jumlah hadits yang telah
terbukukan dalam kitab-kitab hadits jumlahnya
jauh di bawah jumlah hadits yang
dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hafidz
(minimal 100.000 hadits) dan jauh lebih kecil
dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan
dihafal oleh Al-Hujjah (minimal 300.000
hadits). Sedangkan jumlah hadits yang
dikumpulkan dan dihafal oleh Imam Mazhab
yang empat, jumlahnya lebih besar dari jumlah
hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-
Hujjah.
Contohnya Imam Syafi”i ~rahimahullah
adalah imam mazhab yang cukup luas
wawasannya karena bertemu atau bertalaqqi
(mengaji) langsung kepada Salafush Sholeh
dari berbagai tempat, mulai dari tempat tinggal
awalnya di Makkah, kemudian pindah ke
Madinah, pindah ke Yaman, pindah ke Iraq,
pindah ke Persia, kembali lagi ke Makkah, dari
sini pindah lagi ke Madinah
SOURCE:MUTIARA ZUHUD WORDPRESS