“La ilaha illallah…. La ilaha illallah…..”
Sayup-sayup terdengar bacaan kalimat thoyyibah. Kucoba membuka kelopak mata yang masih terasa berat. Samar-samar kulihat jam dinding di kamarku, entah jam berapa sekarang! kupejamkan kembali mataku sambil membalikan badan telungkup, aku ingin tidur lagi, rasa kantuk ini masih terasa melekat di kedua mataku.
“La ilaha illallah…. La ilaha illallah…..”
suara kalimat thoyyibah, kembali mampir di telingaku, walaupun masih terdengar samar.
“oouuhhhh…..” kubuka kembali mataku sambil menutup mulutku yang menguap. Kulihat jam dindingku, jam 08.00. Astaghfirullah! Kugosok-gosok kedua mataku tak percaya sambil gerakan badanku yang masih terasa kaku. Kulihat lagi jam dindingku dengan teliti. Yach, benar jam 08.00!
Pelan-pelan aku bangun bersandar ke dinding sofa. ‘Kenapa istriku gak membangunkanku?’ biasanya dia membangunkanku waktu subuh. Tadi malam, memang aku tidur jam 3 pagi. Seperti biasanya kalau malam jum’at, aku mengikuti acara istighotsah dan riyadloh sampai waktu subuh tiba. Namun karena capai sehabis kerja siang hari, tadi malam aku hanya ikut sampai jam setengah tiga, lalu pergi tidur.
Kembali terdengar bacaan kalimat thoyyibah membuyarkan lamunanku. Bahkan kali ini terdengar pula bacaan-bacaan lainnya. Ada takbir, istighfar, tasbih dan tahmid.
‘ada acara apa ini, kok ramai banget’ tanyaku dalam hati. ‘ahh, acara jam’iyyah ibu-ibu kali.!’ kucoba menjawab sendiri.
Dengan agak malas, aku bangun berdiri. Kubuka pintu kamarku. Tak ada orang di ruang tengah. Aku terus berjalan ke belakang sambil menengok kamar tengah, tiada orang. ‘kemana istriku dan si bungsu? Ah, paling-paling wayah gini ada di dapur,’
Aku terus berjalan menuju dapur. Tidak ada orang di sana.’paling-paling mereka sedang bermain dengan anak tetangga’ pikirku sambil meneguk segelas air putih yang sudah tersedia di meja. Kuambil handuk menuju kamar mandi. Dari kamar mandi masih terdengar asma-asama Allah terkumandang dari arah musholla dekat rumahku. Bahkan sayup-sayup juga terdengar dari arah masjid.
Sehabis mandi, langsung aku menuju kamar musholla. Kukerjakan sholat Qodlo subuh sekaligus mengerjakan 4 rokaat sholat sunah dluha.
Dari luar masih kudengar kalimat-kalimat Allah. Samar-samar terdengar pula suara tangisan. Suaranya terisak-isak memilukan seperti menahan kesedihan. Bahkan kali ini kudengar suara orang seperti sedang berlarian diiringi suara jeritan dan tangisan.
“Ada apa ini?’ tanyaku dalam hati. Cepat-cepat kuselesaikan wirid dan do’aku. Rasa penasaran menyelimuti pikiranku. Kubuka pintu rumahku, cahaya matahari meyambutku, masih redup dan agak merah. ‘maklum masih pagi’ pikirku tanpa memperhatikan lebih jauh.
Mataku malah tertumpu pada orang-orang yang sedang berlari-lari kesana-kemari, sambil terus menjerit dan menangis. ‘Ada apa ini, kok seperti ada kejadian yang mengagetkan, apa ada orang yang mati, atau tabrakan, atau kebakaran?’ tanyaku kembali dalam hati. Kulangkahkan kakiku menuju jalan kecil di depan rumahku, aku ingin tahu, bertanya pada mereka.
“Mang Adi, ada apa ini?” tanyaku pada tetanggaku yang kebetulan lewat di depanku. Dia menoleh sebentar, tidak menjawab, bahkan ia berlari ke arah barat sambil menangis dan menjerit.’lho kok begitu?’ rutukku dalam hati, membuat aku semakin penasaran.
“ hei Lal…., ada apa ini?” kembali aku bertanya pada si Jalal, pemuda tanggung yang juga sedang berlari-lari keci yang lewat d idepanku. Wajahnya tampak pucat pasi. Matanya agak merah bekas air mata. Namun dia juga hanya menoleh ke arahku sebentar. Kemudian tanpa mempedulikan pertanyaanku, kembali berlari ke arah timur sambil menjerit-jerit.
Berkali-kali aku bertanya pada orang-orang yang selama ini kukenal. Rasa penasaranku menjadi-jadi. Tidak ada orang yang mau menjawab pertanyaanku. Bahkan mereka seperti tidak mengenalku lagi. Semua orang berlari-lari kesana kemari sambil menangis dan menjerit.
Kulangkahkan kakiku menuju musholla yang berjarak sekitar 80 meter dari rumahku. Suara-suara kalimat thoyyibah semakin jelas terdengar di telingaku. Kulihat jam tanganku, jam 09.12! ‘ada apa ini? Kok orang-orang seperti menjadi gila semua. Istriku dan anak-anak juga pada kemana mereka? Batinku terus bertanya-tanya, sambil berjalan menuju musholla. Cahaya matahari masih redup dan agak berwarna merah. Kutengadahkan wajahku ke langit, mendung hitam nampak bergelombang menghalangi cahaya matahari. Dari sela-sela mendung samar-samar terlihat matahari berwarna merah. Namun..
‘astaghfirullah..!’ aku kaget, matahari itu bukan berada di sebelah timur, namun ada di sebelah barat. Berarti saat ini waktu sudah sore, mungkin sudah jam setelah limaan. Kulihat kembali Seiko di tangan kiriku, jam sembilan empat belas menit! ‘wah ini jam ngaco kali, sudah sore kok masih jam sembilan’ waduh berarti aku tidur lama sekali. Dan…. Sholat yang aku kerjakan tadi…? ‘ batinku berhenti berbicara, kugaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal sambil nyengir kuda.
Masih 40 meteran ke arah musholla, kuhentikan kakiku. kulihat banyak orang di depan musholla, laki-laki dan perempuan, dipinggir, bahkan di belakang musholla. Bergerumun sambil terdengar suara tangis dan jeritan. Sementara dari dalam musholla, masih terus terdengar orang-orang menyebut nama Allah diiringi suara tangis yang memilukan.
Aku terhenyak, ada apa lagi ini, kok banyak orang di sekitar musholla. Ada pak Udi, Pak eka, Bi onih, Bi Suma, Si kandin, dan banyak lagi yang tidak bisa kuperhatikan. Siapa yang mati hari ini? Tanyaku dalam hati sambil berjalan pelan.
Semakin dekat dengan orang-orang yang bergerumun, semakin besar rasa heran di hatiku. Tidak seorang yang memperhatikan kehadiranku. Bahkan tidak ada yang mau menjawab pertanyaaanku. Mereka seperti tak mengenalku, terus menangis dan menjerit-jerit.
Sampai di pelataran, semakin jelas kudengar orang –orang di dalam musholla menyebut-nyebut asma Allah. Bahkan kudengar dengan jelas, suara Kyai Abdullah memandu bacaan para jama’ah.
Kulepas sandalku untuk masuk ke dalam musholla. Namun saat akan kuijakkan kakiku di di atas teras, mendadak kakiku tidak bisa digerakkan. Bahkan kakiku kembali menginjak sandal yang sudah kulepaskan. Kucoba sekali lagi, namun tidak bisa. Aneh… telapak kakiku tidak dapat menginjak lantai musholla. Ku coba lagi.. namun tetap tidak bisa.
“ Hei… kamu tidak berhak masuk ke dalam..!” Sebuah suara parau dan berwibawa mengagetkanku. Kutengokkan kepalaku ke arah kanan, tidak ada orang yang sedang berbicara. Ke kiri, hanya ada orang-orang yang sedang menangis. Ke arah belakang, tak ada siapapun, hanya gerumunan orang-orang yang sedang menangis dan menjerit-jerit.
‘heran.., siapa tadi yang ngomong?’ batinku semakin tidak percaya. Kucoba kembali menginjakkan kaki ke lantai musholla. Namun lagi-lagi tidak bisa. Kucoba lagi, kucoba lagi.. dan seterusnya. Namun tetap tidak bisa.
“ Hei… kamu tidak berhak masuk ke dalam..!” Sebuah suara kembali terdengar ditelingaku, Aku tak berminat untuk mencari siapa yang sedang berbicara. Aku terduduk lemas, hatiku sudah kesal tercampur kebingungan yang luar biasa “Kamu jarang berada di dalam musholla ini, Kamu jarang berjama’ah di sini…, tahukah kamu, hari apa ini..?!”
‘yah, hari apa ini?’ secara tak sadar kuulang pertanyaan tadi dalam hatiku, ‘Ini adalah hari…. Jum’at” gumamku pelan.
Pelan-pelan, kutengok ke arah kanan, kiri dan belakang “ orang-orang menangis dan menjerit seperti orang mabuk..’ gumamku bergetar penuh was-was, ‘apakah hari ini….?’ Tak kulanjutkan perkataan hatiku, aku takut jika dugaanku ini benar. Pelan-pelan aku berdiri, kupandang orang-orang yang berada di dalam musholla, “semuanya terlihat khusyu’, tak perduli pada diriku’ batinku.
Penuh dengan rasa bimbang, was-was dan takut, kutengadahkan pandanganku ke arah langit. Kulihat seperti tadi, suram dan berwarna merah. Tidak ada burung-burung yang biasanya menghiasi langit. Dari sela-sela mendung hitam, kulihat Bola matahari yang bersinar redup, pucat. Dan…disebelah matahari kulihat bola yang lain yang memancarkan sinar merah seperti darah. ‘Apakah ini bulan?’ gumamku dalam hati. Kulihat jam tanganku, jam sepuluh kurang sepuluh menit! Kurasakan angin dingin menerpa wajahku, dingin sekali. ‘Ya Allah….’ Gumamku pelan sembari tak sengaja kuingat pengajian kitab “Daqoiqul Akhbar” di pesantrenku. ‘apakah hari ini……Allahu Akbar..!! tak sadar kuseru kalimat Takbir dari mulutku.
“Allahu Akbar … Allahu Akbar….. La ilaha Illallah…Allahu Akbar” suara takbirku semakin keras sambil tidak terasa aku menangis tiada henti. Kini aku sadar dan tidak ragu, hari ini adalah hari kiamat! Yah… cirri-ciri kejadian yang kujumpai hari ini tak salah lagi, sesuai dengan keterangan yang aku dapat dalam kitab-kitab yang pernah aku pelajari. Kugigit jariku, kuharap aku sedang bermimpi. Sekali lagi kugigit jariku dengan keras. Sakit sekali!
‘Ya Allah… hari ini benar-benar telah terjadi yang engkau janjikan, duh.. apa yang dapat aku banggakan kelak di hari pengadilan-Mu. Amalku tiada yang istimewa, sholat-sholatku masih banyak yang belum ditambal, dosa-dosa kepada orang tuaku masih belum dapat aku tebus dengan membahagiannya, hutang-hutangku masih belum terbayarkan, aku juga masih belum sempurna menunaikan kewajiban terhadap anak itsriku, Ya Allah ampunilah aku……!
“Allahu Akbar … Allahu Akbar….. La ilaha Illallah…Allahu Akabr” sambil terus menyebut nama Allah, kucoba kembali menginjakkan kakiku ke lantas musholla. Aku ingin bergabung dengan para jama’ah lainnya. Aku ingat, bahwa sebelum matahari berada di tengah-tengah langit, pintu taubat masih tersedia untuk umat manusia. Di saat-saat terakhir ini aku ingin bertobat. Namun… lagi-lagi, aku tak dapat menginjakkan kakiku di lantai musholla.
‘ Ya Allah……izinkanlah aku masuk ke dalam, aku ingin bersama orang-orang sholeh, disaat Engkau menutup pintu taubat-Mu’ seruku tanpa ada suara di mulutku. Suaraku hanya bisa untuk menangis, menangis.. dan menangis…
“ Hei… kamu tidak berhak masuk ke dalam..!” Kembali suara parau dan berwibawa terdengar di dekatku, membuat tangisku semakin menjadi.
Sambil terus menangis, aku berlari menuju musholla yang lain. Di sepanjang jalan, kujumpai orang-orang yang sama denganku. Berlari, menangis dan menjerit-jerit seperti orang-orang sedang mabuk. Saat itu, Kuingat firman-Nya “ Mereka berlari-lari seperti orang mabuk, padahal mereka tidak mabuk”.
Sampai di Muhsolla Al-Ghufron, nampak telah penuh pula dengan orang-orang yang bergerumun. Sepertinya mereka sama-sama ingin masuk ke dalam musholla. Namun kaki mereka sama sekali tidak dapat menyentuh lantai musholla.
Sambil terus menangis dan mengucapkan kalimat-kalimat thoyyibah, akupun tiba di palataran musholla. Kucoba menginjakkan kakiku ke atas lantai musholla. Namun hasilnya sama, kakiku tak dapat menyentuhnya.
“ Hei… kamu tidak berhak masuk ke dalam..!” Kembali suara parau dan berwibawa terdengar di dekatku, membuat tangisku semakin menjadi.
Aku berlari meninggalkan musholla Al-Ghufron. Jiwaku kacau, bingung dan takut. Aku takut Allah tidak menerima taubatku di saat-saaat terakhir terbukanya pintu taubat. Kupikir muhsolla manapun tidak akan mau menerima kehadiranku, sebab kuakui aku jarang ikut sholat berjama’ah di dalamnya. Kemana lagi aku harus pergi. “Allahu Akbar … Allahu Akbar….. La ilaha Illallah…astaghfirullah…Allahu Akbar” isak tangisku tiada henti sambil terus menyebut nama Allah,
Kemudian aku berlari menuju masjid. Walaupun hanya satu minggu sekali aku datang ke masjid, namun kuingat aku termasuk salah seorang yang berjuang dalam meramaikan masjid melalui wadah DKM. Aku berharap masjid dapat menerimaku. Sepanjang jalan, tak hentin-hentinya aku menangis penuh penyesalan sambil terus menerus melafadzkan kalimat-kalimat thoyibah.
Di pokok sebuah rumah, kulihat Pak Danul dan beberapa anak muda yang biasanya suka minum-minuman sedang menangis meraung-raung. Namun terkadang mereka tertawa terbahak-bahak. Kemudian di pinggir jalan lain, kulihat sekumpulan perempuan sedang menjerit-jerit sampai keluar busa di mulutnya. Mereka kukenal selama ini suka mengumpat, menggunjing dan menjelek-jelekan orang lain. Kulanjutkan langkahku dengan penuh harap dan cemas. Sejurus kemudian, aku menyaksikan serombongan laki-laki dan perempuan yang sedang menangis sambil menari. Setelah menari kemudian mereka saling pukul dan saling cakar dengan teman-temannya, memperebutkan sobekan-sobekan kertas yang penuh angka dan gambar. Aku hanya bisa menahan isak tangis dan air mataku melihat mereka. Namun semakin kutahan, air semakin keras suara tangisku.
Sampai di depan masjid, kulihat sudah banyak orang berkumpul di sana. Sayup-sayup kudengar Kyai Sholehuddin sedang memimpin jama’ah yang berada di dalam masjid dalam mengucapkan asma-asma Allah. Tepat di depan teras masjid, kuhentikan langkahku sebentar. Timbul keraguan dan kecemasan di hatiku, apakah aku akan ditolak juga masuk ke dalam masjid.
“Bismillahirrohmanirrohim” kuucapkan basmalah sambil kulepaskan sandalku, diikuti dengan do’a masuk masjid dan bacaan-bacaan yang lain. Pelan-pelan kuangkat kaki kananku sambil memejamkan mata, sekujur tubuhku ikut gemetar mengiringi perasaan was was, takut dan penuh harap.
Depp…… kakiku terasa menyentuh lantai yang hangat. Kubuka mataku pelan-pelan.
‘alhamdulillah’ ucapku tanpa sadar
Kaki kananku telah berhasil menapak dilantai masjid. Kuangkat kembali kaki kiriku. Dan ternyata berhasil juga. Keharuan dan kebahagiaan serta merta menyelimuti hatiku. Tak terasa air mata yang sejak tadi terasa telah kering, menetes di tanganku kemudian jatuh ke lantai masjid.
‘Ya Allah…. Alhamdulillah, terimakasih Engkau telah memberi kesempatan kepadaku untuk bertaubat di hari akhir-Mu’ ucapku dalam hati.
“Marhaban ahlan wasahlan…. Ud khuluha bisalamin aminin” sebuah suara nan merdu mengagetkan kekhusyu’anku. Kuangkat kepalaku mencari sumber suara. Ohh.. aku terperangah, siapa dia?’ ucapku dalam hati
Seorang perempuan muda yang cantik jelita nampak menghampiriku. Tanpa sungkan-sungkan tanganku digandengnya kemudian menarikku berjalan menuju ruangan dalam masjid. Aku terkesima, tak mampu berucap kata. Sambil jalan pandanganku tak terlepas dari wajahnya. Namun seolah dia tak peduli aku terus memandangnya. Dia hanya tampak tersenyum semakin menambah kejelitaannya.
“Pak.. Pak…” kudengar sayup-sayup suara memanggilku. Aku tak peduli. Mataku terus memandanginya. Rasanya aku tak akan bosan terus menerus seperti ini.
“Pak..Pak… Pak…” kudengar lagi suara memanggilku semakin keras. Bahkan badanku terasa sempoyongan. Namun aku malah tersenyum.
“Paaakkk Banguunnn….Sudah subuh” Kali ini aku kaget bukan kepalang, suara ini nyaring sekali di telingaku. Kubuka mataku pelan-pelan. Samar-samar Seraut wajah yang cantik berada di depan wajahku.
“Bangun Paak… Sholat dulu” Kugosok-gosok kedua mataku. Kulihat lagi seraut wajah di depanku dengan lebih jelas. Ternyata dia adalah istriku yang masih memakai mukena.
“Alhamdulillahi robbil ‘alamin..!!” Ucapku setengah teriak membuat istriku agak kaget. ‘ternyata aku baru saja bermimpi kiamat telah terjadi. Ohh… tapi perempuan cantik yang menggandeng tanganku tadi, siapa yah?’ kataku dalam hati sambil melirik ke arah istriku. Wajahnya yang masih terbungkus mukena mengingatkan aku pada perempuan yang ada dalam mimpiku. Kutariik lengan istriku ke dalam pelukanku
“Ehh… Pak..subuh dulu…!” ucap istriku menggelinjang. Aku tak peduli. Kucium bibirnya yang ranum beberapa saat. Kemudian pelan-pelan aku bangun, ngeloyor menuju kamar mandi sambil garuk-garuk kepala. Kubiarkan istriku melongo tak mengerti. Barangkali dalam hatinya ia berkata :
“Tumben.. suamiku subuh-subuh begini ngajak…”