Menurut pengarang (buku Sholat seperti Nabi
saw yaitu Hasyim bin Ali as Saqqaf):
pendapat orang mengenai Syarik tampaknya
hanya berkaitan dan didasarkan kepada
masalah tersebut. Demikian pula mengenai
tasyayyu’ (kesyi’ahan)-nya. Tapi itu tidak
menjadi cela atau aib. Silakan kembali melihat
Risalah al-’Atb al-Jamil ‘ala Ahl al-Jahr wa at-
Tahdil karangan Sayyid Muhammad in ‘Aqil,
supaya Anda mengetahui upaya tajrih (mencari
kesalahan) para periwayat hadist dengan
(sebab) tasyayu’ dan memahaminya secara
baik.
Bagaimanapun, para Imam menganggap bahwa
syariq itu tsiqah (dapat dipercaya). Berikut
komentar sebagian imam mengenai Syariq:
Ibnu Mu’in mengatakan bahwa Syarik itu
tsiqoh-tsiqoh (sangat terpercaya). Ibn Sa’id
menilai,” Syarik itu tsiqoh dan bagus hadis
(pembicaraannya).” Ibn Hibban dan Ibn
Syahin pun menganggapnya tsiqoh. Sementara
menurut penilaian Abu Dawud, Syariq itu
tsiqoh yukhtu’tu (terpercaya, tetapi suka salah
dalam meriwayatkan hadist).
Ibn ‘Adi menilai,”Umumnya hadist Syarik itu
shahih dan adil (shahihah wa al-istiwa). Aib
(nakrah) yang menimpa hadistnya itu timbul
akibat hafalannya yang buruk. Ia tidak pernah
sengaja melakukan sesuatu dalam periwayatan
hadistnya yang mengakibatkan kedhaifan
hadistnya.”
Kejelekan hafalan itu terjadi setelah ia
mengurus al-qadha’ (menjadi hakim peradilan).
Sementara Yazid bin Harun meriwayatkan
hadist dari Syarik itu sebelum ia memangku
jabatan tersebut. Jadi hadist dari Syarik
tersebut Shahih
Imam al-Hafizh Ibn al-Mundzir dalam al-
Ausath (III:166) mengatakan,” Hadist Wa’il
bin Hur itu tsabit (kuat) dan atas dasar hadist
itu pula kami berpendapat
Imam at-Turmudzi-semoga Allah
merahmatinya- berkata,”Untuk mengamalkan
hadist tersebut- menurut kebanyakan ahli ilmu
– hendaklah seseorang meletakkan kedua
lututnya sebelum tangannya. HR Abu Dawud
(I:222 no 839) dan Ibn al-Mundzir dalam al-
Awsath (III:166). Hadist tesebut hasan.
Bahkan, karena banyak penguatnya, nilainya
menjadi shahih.
Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam
bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian
sujud, maka janganlah berderum (berlutut)
seperti unta. HR Abu Dawud (I:222 no 840)
An-Nasai (II:207) dan yang lainnya. Hadist
tersebut shahih. Dalam hadist itu ada
tambahan yang dhaifah, bahkan batilah
(salah), yaitu pada akhirnya: walyadha’
yadaihi qabla rukbataihi (hendaklah meletakkan
kedua tangannya sebelum lututnya). Penggalan
hadist tersebut hanya diriwayatkan (tafarrud)
‘Abdal ‘Aziz bin Muhammad ad-Darawardi;
dan ia orang yang dhaif (lemah). Apalagi
perawi lain yang mengikutinya-menurut
riwayat Abu Dawud (no 841) dari perawi
lainnya – tidak menyebutkan penambahan
tersebut.
Meskipun Ad-Darawardi termasuk perawi
dalam sanad Imam Muslim, tetapi ia suka
ragu-ragu (meragukan) jika menghadistkan
dari hafalannya. Hal ini seperti diakui Imam
Ahmad bin Hanbal. Ia menambahkan, bahwa
ad-Darawardi itu laisa bi syaiin (bukan apa-
apa), dan sesungguhnya jika meriwayatkan
hadist dari hafalannya, ia (suka) melakukan
kebatilan-kebatilan.
Penilaian berikut ini tersamuk sebagian
kejelekannya. Abu Hatim mengatakan bahwa
ad-Darawardi tidak dapat dijadikan hujjah.
Abu Zarah mengatakan bahwa ia jelek
hafalannya. Imam Ahmad juga menilai,”Ia
suka membaca dari kitab-kitab orang lain dan
salah; mungkin ia membalikkan (mengubah)
hadist Abdullah bin Umar ra, maka ia
meriwayatkannya (dengan menyebutkan) dari
Ubaidillah bin Umar ra.
An Nasai juga mengatakan bahwa ia tidak
kuat. Ibn Sa’d berkata,”Ia tsiqoh dan banyak
meriwayatkan hadist, tapi suka salah. Atas
dasar itu, maka al-Bukhori tidak meriwayatkan
hadistnya, kecuali jika diikuti perawi yang
lainnya.” Sebetulnya masih banyak lagi
pendapat dan penilaian yang lebih daripada itu.
Maka tidak perlu diragukan lagi bahwa
penambahan, “hendaklah meletakkan kedua
tangan sebelum kedua lutut” tersebut adalah
batil.
Sedang apa yang dikomentari oleh al-Bukhori
bahwa Ibn Umar ra pernah meletakkan kedua
tangannya sebelum kedua lututnya, adalah
tidak sah. Sebab pada sanadnya ada ad-
Darawardi yang menyatakan bahwa, ia
meriwayatkan dari Ubaidillah bin Umar. Para
ahli hadist teah membicarakan periwayatannya
dari ad-Darawardi mengenai hadist tersebut.
Dan itu termasuk riwayat yang mengandung
keraguan, seperti dijelaskan pada al-Fath al-
Bari karangan Inb Hajar Al-Asqalani (II:291)
yang dikutip dari Al-Baihaqi. Apalagi riwayat
dari Ibn Umar sendiri menyatakan
kebalikannya. Hanya Allahlah yang memberi
hidayah kepada kita.
Dalam mendirikan shalat, kita dilarang
menyerupai binatang, sebagaimana telah
dikemukakan lewat beberapa hadist shahih
mengenai itu. Semua orang yang berakal
mengetahui secara pasti, bahwa jika untuk
berlutut atau berderum, ia mendahulukan
melipat kedua tangannya (kaki depannya), lalu
turun merendahkan badannya dengan bertumpu
pada tangannya itu, sementara kaki
belakangnya tetap tegak untuk kemudian
diturunkan. Sedangkan orang yang
melaksanakan shalat terlebih dahulu harus
melipat kedua kakinya sambil turun ke bumi
(tempat sujud) kemudian meletakkan
tangannya. Hal itu tentunya merupakan
sesuatu yang sangat mudah dilakukan dan
tidak memerlukan pemikiran yang panjang.
Demikianlah sunnah Nabi Muhammad
shalallahu ‘alaihi wa salam yang benar.
Imam An-Nasai – semoga Allah
merahmatinya- dalam sunannya juga
menggunakan hadist tersebut. Bahkan ia
menuliskan satu bab khusus mengenai itu
dengan judul: “Bab Cara Merunduk Untuk
Sujud.” Ia menggunakan dalil dengan
keumuman hadist Hakim, yang mengatakan,”
Aku membaiat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
salam untuk tidak merunduk, kecuali sambil
berdiri.” (HR An Nasai (II:205) dan hadist
tersebut shahih
Merunduk seperti itu hanya akan sempurna
dengan lutut terlebih dahulu. Turun ketika
sujud dengan mendahulukn lutut sebelum
tangan telah dilakukan oleh para sahabat mulia
dan para tabiin dari kalangan ulama salaf.
Antara lain diriwayatkan dari al-Aswad an-
Nakhai ra. Ia mengatakan bahwa Umar bin al-
Khattab ra turun untuk sujud dengan
mendahulukan lututnya. (HR In Abi Syaibah
dalam al-Mushannaf-nya (I:294 no.3 Cet.
Dar al-Fikr) dengan sanad yang shahih.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Muslim bin
Yasar ra bahwa jika ayahnya sujud, ia
meletakkan kedua lututnya, kemudian kedua
tangannya, lalu kepalanya. (HR Ibn Abi
Syaibah (I:295 no.5) dengan sanad yang
shahih)
Diriwayatkan pula dari Ibrahim an-Nakhai -
semoga Allah merahmatinya- bahwa ia pernah
ditanya oleh seseorang mengenai orang yang
meletakkan tangannya sebelum lututnya. Ia
tidak menyukai itu, lalu berkata,” Adakah yang
melakukan hal itu selain orang gila?” (HR Ibn
Abi Syaibaah (I: 295 no.5) dengan sanad
yang shahih pula)
Imam as-Syafi’i -semoga Allah merahmatinya-
(terdapat dalam al-Umm-nya asy-Syafi’i
(I:98)) berkata,” Aku suka memulai takbir
sambil berdiri dan turun menuju tempat untuk
sujud. Aku juga menyukai orang yang
meletakkan lututnya terlebih dahulu ketika
sujud, lalu tangannya, lalu wajahnya atau
mukanya. Jika ia meletakkan wajahnya sebelum
kedua tangannya, atau meletakkan tangan
sebelum lututnya, aku tidak menyukai it.
Tetapi jika ada yang melakukn itu, ia tidak
perlu mengulangi shalatnya dan tidak perlu
sujud syahwi. (Dengan demikian menurut
Imam asy-Syafi’i, hukum meletakkan lutut
sebelum tangan, dan meletakkan tangan
sebelum meletakkan wajah atau dahi hannya
sunah saja, bahkan hanya sunah biasa dan
bukan pula sunah muakkadah -Pen)
Dikutip dari buku Sifa-sifat Shalat Nabi
Muhammad saw yang Benar. Halaman
170-173. Terbitan Pustaka Hidayah
IV. Terjamahan Bahasa Indonesia: Fatwa-
Fatwa Shalat, Syeik Abdulaziz bin Baz, Hal.
47 – 49, Cetakan pertama Dzulqaidah
1427H / Desember 2006, Akbar Media Eka
Sarana, Jakarta.
Menurut petunjuk As-Sunnah, orang yang
hendak sujud dalam shalatnya dianjurkan
untuk meletakkan kedua lututnya terlebih
dahulu sebelum kedua telapak tangannya jika ia
mampu melakukannya. Pendapat ini yang
paling kuat dari pendapat lainnya. Ini juga
merupakan pendapat jumhur ulama karena
lebih kuatnya hadist riwayat Wa’il bin Hajar
r.a. dan hadist lain yang satu makna dengan
hadist tersebut
Adapun mengenai hadist riwayat Abu
Hurairah, maka pada hakekatnya maknanya
tidak bertentangan dengan hadist Wa’il, bahkan
sebetulnya sama, karena yang dilarang Nabi
saw. adalah gerakan hendak sujud seperti yagn
dilakukan unta saat mendekam. Sudah
diketahui bersama bahwa mendahulukan kedua
tangan itu menyerupai yang dilakukan unta.
Ucapan di akhir hadist ‘Dan hendaknya
meletakkan kedua tangannya sebelum kedua
lututnya.’ diduga kuat telah diriwayatkan
inqilab (terbalik, dengan mengakhirkan yagn
seharusnya didahulukan dan sebaliknya) oleh
sebagian perawi hadist. Karena riwayat yang
benar adalah ‘hendaknya meletakkan kedua
lututnya sebelum kedua telapak tangannya,’
(Unta kalau hendak duduk mendekam
mendahulukan kaki depannya -tangan-, baru
kaki belakangnya -ed.). Dengan demikian
makna beberapa hadist yang nampak
kontradiktif itu bisa dikompromikan, hingga
hilang pertentangan. Hal ini telah diulas
panjang lebar oleh Al-’Allamah Ibnul Qayyim
dalam kitab karyanya yang berjudul Zad al-
Ma’ad (khusus soal Bab Shalat dari buku ini
telah diterbitkan edisi bahasa Indonesianya
oleh Penerbit AKBAR, dengan judul:
“Tuntunan Shalat Rasulullah saw.”).
Sedangkan mengenai orang yang tidak
mendahulukan kedua lututnya sebab sakit atau
karena berusia lanjut, maka hukum
melakukannya adalah la haraj (tidak apa-apa).
Dasarnya adalah firman Allah Ta’ala berikut
ini,
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut
kesanggupanmu.” ( at-Taghaabun: 16)
Rasulullah saw. juga telah bersabda,
“Apa-apa yang telah aku larang bagi kalian
maka jauhilah, dan apa-apa yang aku
perintahkan kepada kalian maka datangilah
perintah itu sebatas kemampuanmu”
Para ulama hadist sudah bersepakat tentang
shahih nya hadist ini.
————————————-
IV. Berikut saya dapatkan dari sebuah blog
: http://
abdurrahman.wordpress.com/2007/09/12/
tata-cara-turun-ketika-sujud/#more-393
ﺑﺴﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ
TATA CARA TURUN KETIKA SUJUD
Oleh:
Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih
Al-‘Utsaimin rahimahullahTa’ala
Soal: Bagaimanakah tata cara turun untuk
bersujud?
Jawab: Yang pertama turun adalah lutut
terlebih dahulu, kemudian dua buah telapak
tangan, karena Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam melarang seseorang sujud dengan
meletakkan telapak tangan terlebih dahulu,
sebagaimana sabdanya:
ﺇﺫﺍ ﺳﺠﺪ ﺃﺣﺪﻛﻢ ﻓﻼ ﻳﺒﺮﻙ ﻛﻤﺎ ﻳﺒﺮﻙ ﺍﻟﺒﻌﻴﺮ ﻭﻟﻴﻀﻊ ﻳﺪﻳﻪ
ﻗﺒﻞ ﺭﻛﺒﺘﻴﻪ .
“Apabila salah seorang di antara kalian sujud,
maka janganlah turun untuk sujud
sebagaimana menderumnya onta, dan
hendaklah ia meletakkan dua tangannya
sebelum dua lututnya” (HR. Ahmad 2/381;
Abu Dawud no. 840; An-Nasa’I no. 1090).
Kalimat pertama yang berbunyi”janganlah
turun untuk sujud sebagaiamana menderumnya
onta” , larangan ini tentang sifat sujudnya
yang ditunjukkan oleh huruf “kaf” yang berarti
penyerupaan (tasybih). Bukan larangan
tentang kesamaan pada anngota badan yang
sujud. Sekiranya larangan terhadap kesamaan
anggota badan yang sujud tentulah bunyi
hadits tersebut Maka janganlah menderum
persis dengan menderumnya onta, jika memang
demikian maka kami katakana janganlah Anda
turun sujud di atas dua lutut karena onta
menderum di atas dua lututnya. Tetapi Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan
janganlah menderum persis dengan
menderumnya onta, namun beliau shalallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan janganlah
menderum sebagaimana menderumnya onta.
Ini adalah larangan tentang sifat dan tata cara,
bukan larangan kesamaan meletakkan anggota
badan saat sujud.
Oleh karena itu Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah
rahimahullah dalam kitabnya Zaadul Ma’ad
(1/215) yakin bahwa perawi hadits terbalik
dalam menyebutkan kalimat terakhir dalam
hadits tersebut. Kalimat terakhir tersebut
yaitu: Hendaklah ia meletakkan dua tangannya
sebelum dua lututnya, beliau berkata: yang
benar hendaklah ia meletakkan dua lututnya
sebelum dua tangannya; sebab sekiranya
meletakkan dua tangan terlebih dahulu sebelum
dua lututnya tentu ia akan bersujud
sebagaimana menderumnya onta. Onta itu
apabila menderum lebih mendahulukan
tangannya. Barangsiapa yang pernah
menyaksikan onta menderum tentulah jelas
baginya permasalahan ini.
Maka yang benar jika kita ingin menyelaraskan
hadits pada bunyi hadits yang terakhir dengan
yang bunyi hadits yang pertama, yaitu:
Hendaklah ia meletakkan dua lututnya sebelum
dua tangannya, karena jika ia meletakkan dua
tangannya sebelum dua lututnya sebagaimana
yang saya katakana tentulah ia akan turun
sujud sebagaimana turunnya onta. Sehingga
awal dan akhir hadits menjadi bertentangan.
Sebagian ikhwan telah mengarang sebuah
risalah yang berjudul FATHUL MA’BUD FII
WADH’I RUKBATAINI QOBLA YADAIN FII
SUJUD, karya ini cukup bagus dan
bermanfaat. Oleh karena itu sunnah yang
diperintahkan oleh Rasulullah sholallahu ‘alaihi
wa sallam dalam sujud adalah meletakkan dua
lutut sebelum dua tangan.
Sumber: Majmu’ Fatawa Arkanil Islam, soal
no. 249
Artikel keren lainnya: