Firanda merasa bangga seolah telah menggapai cita-
cita besarnya selama ini karena merasa telah berhasil
mematahkan argumentasi Habib Mundzir terkait
persoalan seputar kuburan. Merasa paling alim, paling
pandai atas semua ucapan para ulama syafi’iyyah.
Padahal argumentasinya penuh penipuan dan
kedangkalan cara berpikirnya terhadap Hadits-Hadits
Nabi Saw dan ucapan para ulama Ahlus sunnah.
Sebentar lagi kita akan ketahui penipuan firanda dan
kedangkalan pikirannya terhadap Hadits-hadits Nabi
Saw dan ucapan para ulama yang dia sebutkan dalam
artikelnya tersebut dalam situsnya : http://
firanda.com/index.php/artikel/bantahan/187
Firanda berkata :
Perkataan Al-Baidhowi tentang bolehnya beribadah di
kuburan dalam rangka mencari keberkahan
bertentangan dengan seluruh dalil yang menunjukan
larangan menjadikan kuburan sebagai masjid, karena
hadits-hadits tersebut melarang sholat di kuburan
secara mutlak, tanpa membedakan niat mencari berkah
atau tidak.
Jawaban :
Terlihat jelas kedangkalan Firanda di dalam memahami
ucapan imam Baidhawi tersebut. Imam Baidhawi sama
sekali tidak menghalalkan menjadikan kuburan sebagai
masjid atau tempat peribadatan, karena sudah jelas
nash hadits yang melarangnya :
ﻟﻌﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻴﻬﻮﺩ ﻭﺍﻟﻨﺼﺎﺭﻯ ﺍﺗﺨﺬﻭﺍ ﻗﺒﻮﺭ ﺍﻧﺒﻴﺎﺋﻬﻢ ﻣﺴﺎﺟﺪ
“ Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi
dan Nashoro, sebab mereka telah menjadikan
kuburan para nabi seperti tempat sujud “.
Beliau memang mengharamkan menjadikan kuburan
sebagai masjid yang di atasnya dibuat tempat ibadah
dan sholat di atasnya.
Yang diperbicangkan oleh imam Baidhawi adalah di
luar ancaman hadits tersebut yaitu menjadikan masjid
di samping kuburan orang yang shalih, perhatikan
ucapan beliau berikut :
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺒﻴﻀﺎﻭﻱ : ﻟﻤﺎ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟﻴﻬﻮﺩ ﻳﺴﺠﺪﻭﻥ ﻟﻘﺒﻮﺭ ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ
ﺗﻌﻈﻴﻤﺎ ﻟﺸﺄﻧﻬﻢ ﻭﻳﺠﻌﻠﻮﻧﻬﺎ ﻗﺒﻠﺔ ﻭﻳﺘﻮﺟﻬﻮﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻼﺓ
ﻧﺤﻮﻫﺎ ﻓﺎﺗﺨﺬﻭﻫﺎ ﺃﻭﺛﺎﻧﺎ
ﻟﻌﻨﻬﻢ ﺍﻟﻠﻪ ، ﻭﻣﻨﻊ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻋﻦ ﻣﺜﻞ ﺫﻟﻚ ﻭﻧﻬﺎﻫﻢ ﻋﻨﻪ
Imam Baidhawi berkata : “ Ketika konon orang-orang
Yahudi bersujud pada kuburan para nabi, karena
pengagungan terhadap para nabi. Dan menjadikannya
arah qiblat serta mereka pun sholat menghadap
kuburan tsb, maka mereka telah menjadikannya
sebagai sesembahan, maka Allah melaknat mereka dan
melarang umat muslim mencontohnya.
Catatan :
Beliau berpendapat tidak membolehkan dan haram
menjadikan kuburan sebagai tempat peribadatan, yang
mereka agungkan dengan bersujud pada kuburan dan
menjadikan kuburan itu sebagai arah qiblat.
Dan lihatlah kelanjutan ucapan beliau tersebut berikut
ini :
ﺃﻣﺎ ﻣﻦ ﺍﺗﺨﺬ ﻣﺴﺠﺪﺍ ﺑﺠﻮﺍﺭ ﺻﺎﻟﺢ ﺃﻭ ﺻﻠﻰ ﻓﻲ ﻣﻘﺒﺮﺗﻪ ﻭﻗﺼﺪ
ﺑﻪ ﺍﻻﺳﺘﻈﻬﺎﺭ ﺑﺮﻭﺣﻪ ﻭﻭﺻﻮﻝ ﺃﺛﺮ ﻣﻦ ﺁﺛﺎﺭ ﻋﺒﺎﺩﺗﻪ ﺇﻟﻴﻪ ﻻ
ﺍﻟﺘﻌﻈﻴﻢ ﻟﻪ ﻭﺍﻟﺘﻮﺟﻪ ﻓﻼ ﺣﺮﺝ ﻋﻠﻴﻪ ، ﺃﻻ ﺗﺮﻯ ﺃﻥ ﻣﺪﻓﻦ ﺇﺳﻤﺎﻋﻴﻞ
ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ﺍﻟﺤﺮﺍﻡ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺤﻄﻴﻢ ، ﺛﻢ ﺇﻥ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ﺃﻓﻀﻞ
ﻣﻜﺎﻥ ﻳﺘﺤﺮﻯ ﺍﻟﻤﺼﻠﻲ ﺑﺼﻼﺗﻪ .
ﻭﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻘﺎﺑﺮ ﻣﺨﺘﺺ ﺑﺎﻟﻤﻨﺒﻮﺷﺔ ﻟﻤﺎ ﻓﻴﻬﺎ
ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﺍﻧﺘﻬﻰ
" Adapun orang yang menjadikan masjid di sisi orang
shalih atau sholat di perkuburannya dengan tujuan
menghadirkan ruhnya dan mendapatkan bekas dari
ibadahnya, bukan karena pengagungan dan arah qiblat,
maka tidaklah mengapa. Tidakkah engkau melihat
tempat pendaman nabi Ismail berada di dalam masjidil
haram kemudian hathim ?? Kemudian masjidl haram
tersebut merupaan tempat sholat yang sangat
dianjurkan untuk melakukan sholat di
dalamnya. Pelarangan sholat di perkuburan adalah
tertentu pada kuburan yang terbongkar tanahnya
karena terdapat najis “
Catatan :
Imam Baidhawi membolehkan menjadikan masjid di
samping makam orang sholeh atau sholat
dipemakaman orang sholeh dengan tujuan meminta
kepada Allah agar menghadirkan ruh orang sholeh
tersebut dan dengan tujuan mendapatkan bekas dari
ibadahnya, bukan dengan tujuan pengagungan
terhadap makam tersebut atau bukan dengan tujuan
menjadikannya arah qiblat.
Jelas sekali hal ini di luar dari ancaman hadits Nabi
Saw di atas. Maka terbukti si firanda tidak pandai
memahami ucapan imam Baidhawi ini. Dan telah
berbohong pada umat atas ucapannya bahwa
pendapat imam Baidhawi menyelisihi hadits.
Firanda juga berkata :
Perkataan Al-Baidhoowi akan bolehnya sholat dekat
kuburan dalam rangka mencari keberkahan
bertentangan dengan kesepakatan para ulama besar
madzhab As-Syafii. Padahal kita ketahui bersama
bahwasanya orang-orang yang "hobi" memakmurkan
kuburan dan sholat di kuburan di tanah air kita rata-
rata mengaku bermadzhab As-Syafii.
Jawaban :
Firanda memahami ucapan imam Baidhawi
bertentangan dengan kesepakatan ulama besar
madzhab syafi’I, sebab kebodohannya di dalam
memahami ucapan imam Baidhwi tersebut dan para
ulama lainnya.
Kita perhatikan berikut ini :
ﻭﺍﺗﻔﻘﺖ ﻧﺼﻮﺹ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻭﺍﻷﺻﺤﺎﺏ ﻋﻠﻰ ﻛﺮﺍﻫﺔ ﺑﻨﺎﺀ ﻣﺴﺠﺪ
ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻘﺒﺮ ﺳﻮﺍﺀ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﻣﺸﻬﻮﺭﺍ ﺑﺎﻟﺼﻼﺡ ﺃﻭ ﻏﻴﺮﻩ ، ﻟﻌﻤﻮﻡ
ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ، ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻭﺍﻷﺻﺤﺎﺏ : ﻭﺗﻜﺮﻩ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺇﻟﻰ
ﺍﻟﻘﺒﻮﺭ ، ﺳﻮﺍﺀ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﺻﺎﻟﺤﺎ ﺃﻭ ﻏﻴﺮﻩ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺃﺑﻮ
ﻣﻮﺳﻰ : ﻗﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺑﻮ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﺍﻟﺰﻋﻔﺮﺍﻧﻲ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ : ﻭﻻ
ﻳﺼﻠﻰ ﺇﻟﻰ ﻗﺒﺮﻩ ، ﻭﻻ ﻋﻨﺪﻩ ﺗﺒﺮﻛﺎ ﺑﻪ ﻭﺇﻋﻈﺎﻣﺎ ﻟﻪ ﻟﻸﺣﺎﺩﻳﺚ ،
ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ
"Dan telah sepakat teks-teks dari As-Syafii dan juga
Ash-haab (*para ulama besar madzhab syafiiyah) atas
kemakruhan membangun masjid di atas kuburan, sama
saja apakah sang mayat masyhur dengan kesholehan
atau tidak karena keumuman hadits-hadits (*yang
melarang). Asy-Syafii dan para Ash-haab berkata, "
Dan dimakruhkan sholat ke arah kuburan, sama saja
apakah sang mayat orang sholeh ataukah tidak". Al-
Haafizh Abu Musa berkata, "Telah berkata Al-Imaam
Abul Hasan Az-Za'farooni rahimhullah : Dan tidak
boleh sholat ke arah kuburannya, baik untuk mencari
barokah atau karena pengagungan, karena hadits-
hadits Nabi, wallahu A'lam".(Demikian perkataan An-
Nawawi dalam Al-Majmuu' syarh Al-Muhadzdzab
5/289)
Catatan :
Jelas imam Syafi’I dan ulama syafi’iyyah hanya
memakruhkan membangun masjid di atas kuburan baik
kuburan orang sholeh atau bukan. Dan juga makruh
sholat menghadap kuburan baik kuburan orang sholeh
atau bukan. Namun lain persoalan jika sholat di
samping kuburan orang sholeh, maka para ulama
syafi’I sepakat dengan imam Baidhawi yaitu
membolehkannya. Kecuali imam Abul Hasan az-
Za’farooni.
Imam Baidhwai dan imam Syafi’I juga para ulama syafi’i
sepakat bahwa MAKRUH (TANZIH) hukumnya sholat di
pekuburan bukan karena kaitannya dengan kuburan,
namun kaitannya dengan masalah kenajisan
tempatnya..
Simak kelanjutan ucapan imam Baidhawi berikut :
ﻭﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻘﺎﺑﺮ ﻣﺨﺘﺺ ﺑﺎﻟﻤﻨﺒﻮﺷﺔ ﻟﻤﺎ ﻓﻴﻬﺎ
ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﺍﻧﺘﻬﻰ
“ Pelarangan sholat di perkuburan adalah tertentu
pada kuburan yang terbongkar tanahnya karena
terdapat najis “
Huruf lam dalam kalimat tersebut berfaedah lit ta’lil
(menjelasakan sebab). Arti kalimat itu adalah karena
pada pekuburan yang tergali terdapat najis. Sehingga
menyebabkan sholatnya tidak sah, apabila tidak tergali
dan tidak ada najis, maka sholatnya sah dan tidak
makruh.
Oleh karenanya imam Ibnu Abdil Barr, menolak dan
menyalahkan pendapat kelompok orang yang berdalil
engan hadits pelaknatan di atas untuk melarang atau
memakruhkan sholat di pekuburan atau menghadap
pekuburan. Beliau berkata :
ﻭﻗﺪ ﺯﻋـﻢ ﻗـﻮﻡ ﺃﻥّ ﻓﻰ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻣﺎ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﻛﺮﺍﻫﻴّﺔ
ﺍﻟﺼّﻼﺓ ﻓﻰ ﺍﻟﻤﻘﺒﺮﺓ ﻭﺇﻟﻰ ﺍﻟﻤﻘﺒﺮﺓ ، ﻭﻟﻴـﺲ ﻓﻰ ﺫﻟﻚ ﺣُﺠﺔ
“Sebagian kelompok menganggap hadits tersebut
menunjukkan atas kemakruhan sholat di maqbarah /
pekuburan atau mengarah ke maqbarah, maka hadits
itu bukanlah hujjah atas hal ini “.
Karena hadits di atas bukan menyinggung masalah
sholat dipekuburan. Namun tentang orang yang
menjadikan kuburan sebagai tempat peribadatan.
Pendapat imam Ibnu Hajar al-Haitsami (ulama
syafi’iyyah) :
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺣﺠﺮ : ﺃﺷﺎﺭ ﺍﻟﺸﺎﺭﺡ ﺇﻟﻰ ﺍﺳﺘﺸﻜﺎﻝ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻋﻨﺪ ﻗﺒﺮ
ﺇﺳﻤﺎﻋﻴﻞ ، ﺑﺄﻧﻬﺎ ﺗﻜﺮﻩ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻘﺒﺮﺓ ، ﻭﺃﺟﺎﺏ : ﺑﺄﻥ ﻣﺤﻠﻬﺎ ﻓﻲ
ﻣﻘﺒﺮﺓ ﻣﻨﺒﻮﺷﺔ ﻟﻨﺠﺎﺳﺘﻬﺎ ، ﻭﻛﻠﻪ ﻏﻔﻠﺔ ﻋﻦ ﻗﻮﻟﻬﻢ : ﻳﺴﺘﺜﻨﻰ
ﻣﻘﺎﺑﺮ ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ ، ﻓﻼ ﻳﻜﺮﻩ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻓﻴﻬﺎ ﻣﻄﻠﻘﺎ ; ﻷﻧﻬﻢ ﺃﺣﻴﺎﺀ
ﻓﻲ ﻗﺒﻮﺭﻫﻢ
Ibnu Hajar berkata “ Pensyarah berisyarat pada
kemusykilan sholat di sisi kuburan Nabi Ismail bahwa
makruh sholat dipekuburan. Dan beliau menjawabnya
“ Letak kemakruhannya adalah di pekuburan yang
tergali karena kenajisannya. Semua itu kelalaian dari
ucapan mereka “ Dikecualikan (sholat) di pekuburan
para nabi, maka tidaklah dimakruhkan sholat di
dalamnya secara muthlaq sebab para nabi itu hidup di
dalam kuburan mereka “.
Dan disebutkan pula dalam kitab Mirqatil mafatih syarh
Misykatul Mashabih berikut :
ﻭﻓﻲ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﺴﻨﺔ : ﺍﺧﺘﻠﻒ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻘﺒﺮﺓ ﻓﻜﺮﻫﻬﺎ
ﺟﻤﺎﻋﺔ ، ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟﺘﺮﺑﺔ ﻃﺎﻫﺮﺓ ﻭﺍﻟﻤﻜﺎﻥ ﻃﻴﺒﺎ ، ﻭﺍﺣﺘﺠﻮﺍ ﺑﻬﺬﺍ
ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻭﺍﻟﺬﻱ ﺑﻌﺪﻩ ، ﻭﻗﻴﻞ : ﺑﺠﻮﺍﺯﻫﺎ ﻓﻴﻬﺎ ، ﻭﺗﺄﻭﻳﻞ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ
ﺃﻥ ﺍﻟﻐﺎﻟﺐ ﻣﻦ ﺣﺎﻝ ﺍﻟﻤﻘﺒﺮﺓ ﺍﺧﺘﻼﻁ ﺗﺮﺑﺘﻬﺎ ﺑﺼﺪﻳﺪ ﺍﻟﻤﻮﺗﻰ
ﻭﻟﺤﻮﻣﻬﺎ ، ﻭﺍﻟﻨﻬﻲ ﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ ، ﻓﺈﻥ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ ﻃﺎﻫﺮﺍ
ﻓﻼ ﺑﺄﺱ ، ﻭﻛﺬﻟﻚ ﺍﻟﻤﺰﺑﻠﺔ ﻭﺍﻟﻤﺠﺰﺭﺓ ﻭﻗﺎﺭﻋﺔ ﺍﻟﻄﺮﻳﻖ ، ﻭﻓﻲ
ﺍﻟﻘﺎﺭﻋﺔ ﻣﻌﻨﻰ ﺁﺧﺮ ، ﻭﻫﻮ ﺃﻥ ﺍﺧﺘﻼﻑ ﺍﻟﻤﺎﺭﺓ ﻳﺸﻐﻠﻪ ﻋﻦ
ﺍﻟﺼﻼﺓ ، ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺣﺠﺮ : ﻭﻗﺪ ﺻﺢ ﺃﻧﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ
ﻧﻬﻰ ﻋﻦ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺑﺎﻟﻤﻘﺒﺮﺓ ، ﻭﺍﺧﺘﻠﻔﻮﺍ ﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻨﻬﻲ ﻫﻞ ﻫﻮ
ﻟﻠﺘﻨﺰﻳﻪ ﺃﻭ ﻟﻠﺘﺤﺮﻳﻢ ؟ ﻭﻣﺬﻫﺒﻨﺎ ﺍﻷﻭﻝ ، ﻭﻣﺬﻫﺐ ﺃﺣﻤﺪ ﺍﻟﺘﺤﺮﻳﻢ
“ Di dalam syarh sunnah “ para ulama berbeda
pendapat tentang hokum sholat dipekuburan, maka
sebagian kelompok ulama memakruhkannya, walaupun
tanahnya suci dan tempatnya baik, mereka berhujjah
dengan hadits tersebut dan hadits setelahnya. Ada juga
pendapat (qila) Boleh (tidak makruh) sholat di
pekuburan dan menakwilkan hadits bahwa umumnya
kedaan pekuburan itu bercampurnya tanah dengan
nanah dan daging si mayat sedangkan larangan itu
karena kenajisan tempatnya, jika tempatnya suci maka
tidklah mengapa (sholat di dalamnya). Demikian juga
tempat pembuangan sampah, penjagalan dan tempat
jalan manusia, dan khusus tempat jalan ada alasan
lainnya yaitu lalu lalangnya orang yang lewat dapat
mengganggu kekhusyu’an sholat. Ibnu Hajar berkata “
Sungguh telah shahih bahwasanya Nabi Saw melarang
sholat di pekuburan, namun para ulama berbeda
pendapat dalam sifat pelarangannya, apakah
larangannya bersifat tanzih (makruh tanzih) atau
tahrim (makruh tahrim) ? Madzhab kami (madzhab
syafi’i) adalah memilih yang pertama (yaitu MAKRUH
TANZIH) sedangkan madzhab imam Ahmad memilih
makruh tahrim “.
Imam Ibnu hajar menegaskan pada kita bahwa
madzhab syafi’I menghukumi makruh tanzih sholat di
pekuburan dan cukuplah beliau mewakili pendapat
para ulama syafi’iyyah dalam kemakruhan (tanzih)
sholat dipekuburan.
Imam Al-Qoori juga berkata masih dalam kitab Mirqah
tersebut :
ﻭﻗﻴﺪ " ﻋﻠﻴﻬﺎ " ﻳﻔﻴﺪ ﺃﻥ ﺍﺗﺨﺎﺫ ﺍﻟﻤﺴﺎﺟﺪ ﺑﺠﻨﺒﻬﺎ ﻻ ﺑﺄﺱ ﺑﻪ ،
ﻭﻳﺪﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﻗﻮﻟﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺴﻼﻡ : ﻟﻌﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻴﻬﻮﺩ ﻭﺍﻟﻨﺼﺎﺭﻯ
ﺍﺗﺨﺬﻭﺍ ﻗﺒﻮﺭ ﺃﻧﺒﻴﺎﺋﻬﻢ ﻭﺻﺎﻟﺤﻴﻬﻢ ﻣﺴﺎﺟﺪ
“ Nabi menggunakan kalimat ‘alaiha (di atas)
memberikan faedah bahwa menjadikan masjid di
sampingnya tidaklah mengapa. Dan menunjukkan atas
yang demikian itu sabdanya Nabi Saw : Semoga Allah
melaknat Yahudi dan Nashara yang menjadikan
kuburan para nabi dan orang-orang shalih mereka
sebagai masjid “.
Pendapat imam Syarbini (ulama syafi’iyyah) :
ﻭ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻌﻼﻣﺔ ﺍﻟﺸﺮﺑﻴﻨﻲ : ﻭﺍﻟﻤﻘﺒﺮﺓ )ﺃﻱ ﺗﻜﺮﻩ( ﺑﺘﺜﻠﻴﺚ ﺍﻟﺒﺎﺀ
)ﺍﻟﻄﺎﻫﺮﺓ ( ﻟﻐﻴﺮ ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻭﺳﻠﻢ ﺑﺄﻥ ﻟﻢ
ﻳﺘﺤﻘﻖ ﻧﺒﺸﻬﺎ ﺃﻭ ﺗﺤﻘﻖ ﻭﻓﺮﺵ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺣﺎﺋﻞ. ) ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ(
ﻟﻠﺨﺒﺮ ﺍﻟﺴﺎﺑﻖ ﻣﻊ ﺧﺒﺮ ﻣﺴﻠﻢ } ﻻ ﺗﺘﺨﺬﻭﺍ ﺍﻟﻘﺒﻮﺭ ﻣﺴﺎﺟﺪ { ﺃﻱ
ﺃﻧﻬﺎﻛﻢ ﻋﻦ ﺫﻟﻚ ﻭﺻﺢ ﺧﺒﺮ } ﻻ ﺗﺠﻠﺴﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻘﺒﻮﺭ ﻭﻻ ﺗﺼﻠﻮﺍ
ﺇﻟﻴﻬﺎ{ ﻭﻋﻠﺘﻪ ﻣﺤﺎﺫﺍﺗﻪ ﻟﻠﻨﺠﺎﺳﺔ ﺳﻮﺍﺀ ﻣﺎ ﺗﺤﺘﻪ ﺃﻭ ﺃﻣﺎﻣﻪ ﺃﻭ
ﺑﺠﺎﻧﺒﻪ ﻧﺺ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﻲ ﺍﻷﻡ ﻭﻣﻦ ﺛﻢ ﻟﻢ ﺗﻔﺘﺮﻕ ﺍﻟﻜﺮﺍﻫﺔ ﺑﻴﻦ
ﺍﻟﻤﻨﺒﻮﺷﺔ ﺑﺤﺎﺋﻞ ﻭﻏﻴﺮﻫﺎ ﻭﻻ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﻤﻘﺒﺮﺓ ﺍﻟﻘﺪﻳﻤﺔ ﻭﺍﻟﺠﺪﻳﺪﺓ
ﺑﺄﻥ ﺩﻓﻦ ﻓﻴﻬﺎ ﺃﻭﻝ ﻣﻴﺖ ﺑﻞ ﻟﻮ ﺩﻓﻦ ﻣﻴﺖ ﺑﻤﺴﺠﺪ ﻛﺎﻥ ﻛﺬﻟﻚ ,
ﻭﺗﻨﺘﻔﻲ ﺍﻟﻜﺮﺍﻫﺔ ﺣﻴﺚ ﻻ ﻣﺤﺎﺫﺍﺓ ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻓﻴﻬﺎ ﻟﺒﻌﺪ ﺍﻟﻤﻮﺗﻰ
ﻋﻨﻪ ﻋﺮﻓﺎ ﺃﻣﺎ ﻣﻘﺒﺮﺓ ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ ﻓﻼ ﺗﻜﺮﻩ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻓﻴﻬﺎ ﻷﻧﻬﻢ ﺃﺣﻴﺎﺀ
ﻓﻲ ﻗﺒﻮﺭﻫﻢ ﻳﺼﻠﻮﻥ ﻓﻼ ﻧﺠﺎﺳﺔ .
ﺍﻫـ
Al-Allamah Asy-Syarbini berkata “ Dan pekuburan yang
suci maksudnya makruh sholat di dalamnya, selain
pekuburan para nabi sekiranya bongkaran kuburannya
tidak nyata atau terbongkar namun dibebrkan
penghalang di atasnya. Wallahu a’lam karena ada
hadits yang berlalu dan bersama hadits riwayat Muslim
berikut “ Janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai
masjid “ artinya aku melarang kalian tas yang demikian
itu. Dan juga ada hadits shahih “ Janganlah duduk di
atas kubura dan jangn pula sholat menghadapnya. Illat
(sebab pelarangan) adalah karena SEJAJAR DENGAN
NAJIS baik apa yang ada di bawahnya, depan atau
sampingnya, hal ini telah di tetapkan dalam kitab al-
Umm (karya imam Syafi’i). dari sanalah kemakruhan
tidak berbeda bai antara kuburan yang terbongkar,
dengan penghalang atau pun tidak, juga antara
kuburan yang lama maupun kuburan yang baru
sekiranya dikubura mayat pertama kali bahkan
seandainya mayat dikubur di dalam masjid maka juga
demikian hukumnya.
Dan menjadi hilang hokum kemakruhannya jika tidak
sejajar dengan najis walaupun berada di dalam
pekuburan, karena jauhnya dari orang-orang yang
mati secara umum. Adapun pekuburan para nabi maka
tidaklah makruh sholat di dalamnya karena mereka
hidup di dalam kuburannya dan sholat, maka tidaklah
menjadi najis “.
Imam Qurthubi dalam kitab tafsirnya berkata :
ﻭﻣﻤﻦ ﻛﺮﻩ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻘﺒﺮﺓ ﺳﻮﺍﺀ ﻛﺎﻧﺖ ﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺃﻭ
ﻣﺸﺮﻛﻴﻦ ﺍﻟﺜﻮﺭﻱ ﻭﺃﺑﻮ ﺣﻨﻴﻔﺔ ﻭﺍﻷﻭﺯﺍﻋﻲ ﻭﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ
ﻭﺃﺻﺤﺎﺑﻬﻢ ﻭﻋﻨﺪ ﺍﻟﺜﻮﺭﻱ ﻻ ﻳﻌﻴﺪ ﻭﻋﻨﺪ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﺃﺟﺰﺃﻩ ﺇﺫﺍ
ﺻﻠﻰ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻘﺒﺮﺓ ﻓﻲ ﻣﻮﺿﻊ ﻟﻴﺲ ﻓﻴﻪ ﻧﺠﺎﺳﺔ ﻟﻸﺣﺎﺩﻳﺚ
ﺍﻟﻤﻌﻠﻮﻣﺔ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻭﻟﺤﺪﻳﺚ ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ
ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﺻﻠﻮﺍ ﻓﻲ ﺑﻴﻮﺗﻜﻢ ﻭﻻﺗﺘﺨﺬﻭﻫﺎ ﻗﺒﻮﺭﺍ
ﻭﻟﺤﺪﻳﺚ ﺃﺑﻲ ﻣﺮﺛﺪ ﺍﻟﻐﻨﻮﻱ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ
ﺃﻧﻪ ﻗﺎﻝ ﻻ ﺗﺼﻠﻮﺍ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻘﺒﻮﺭ ﻭﻻﺗﺠﻠﺴﻮﺍ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻭﻫﺬﺍﻥ ﺣﺪﻳﺜﺎﻥ
ﺛﺎﺑﺘﺎﻥ ﻣﻦ ﺟﻬﺔ ﺍﻹﺳﻨﺎﺩ ﻭﻻﺣﺠﺔ ﻓﻴﻬﻤﺎ ﻷﻧﻬﻤﺎ ﻣﺤﺘﻤﻼﻥ
ﻟﻠﺘﺄﻭﻳﻞ ﻭﻻﻳﺠﺐ ﺃﻥ ﻳﻤﺘﻨﻊ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻓﻲ ﻛﻞ ﻣﻮﺿﻊ ﻃﺎﻫﺮ ﺇﻻ
ﺑﺪﻟﻴﻞ ﻻ ﻳﺤﺘﻤﻞ )ﺝ 10 ﺹ -4851(
“ Di antara ulama yang memakruhkan sholat di
pekuburan baik kuburan muslimin atau musyrikin
adalah imam Sufyan Ats-Tsauri, Abu Hanifah, al-Awza’I,
imam Syafi’I dan para ulama syafi’iyyahnya. Menurut
imam Sufyan ats-Tsauri tidak perlu mengulangi lagi
(sholatnya yang dilakukan di pekuburan). Menurut
imam Syafi’i boleh sholat di pekuburan jika di tempat
yang tidak ada najisnya Karena hadits-hadits yang telah
diketahui dalam hal ini dank arena hadits riwayat Abu
Hurairah bahwasanya Rasulullah Saw bersabda “
Sholatlah di rumah kalian dan jangan jadikan rumah
kalian sebagai kuburan. Juga karena ada hadits riwayat
Abi Martsad al-Ghonawi dari Nabi Saw bahwa beliau
bersabda “ Janglah kalian sholat menghadap kuburan
dan jangan duduk di atasnya. Dua hadits ini stabit dari
sisi isnadnya dan tidak bisa diuat hujjah kedua hadits
tsb karena mengandung kemungkinan adanya takwil
dan tidak wajib melarang sholat di setiap tempat yang
suci kecuali dengan dalil yang tidak mengandung takwil
“.
Sekarang kita simak pendapat imam Syafi’I sendiri
dalam kitabnya al-Umm juz 1 halaman : 92 berikut
ini :
ﻭﺍﻟﻤﻘﺒﺮﺓ ﺍﻟﻤﻮﺿﻊ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻘﺒﺮ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﻌﺎﻣﺔ ؛ ﻭﺫﻟﻚ ﻛﻤﺎ ﻭﺻﻔﺖ
ﻣﺨﺘﻠﻄﺔ ﺍﻟﺘﺮﺍﺏ ﺑﺎﻟﻤﻮﺗﻰ ، ﻭﺃﻣﺎ ﺻﺤﺮﺍﺀ ﻟﻢ ﻳﻘﺒﺮ ﻓﻴﻬﺎ ﻗﻂ ، ﻗﺒﺮ
ﻓﻴﻬﺎ ﻗﻮﻡ ﻣﺎﺕ ﻟﻬﻢ ﻣﻴﺖ ، ﺛﻢ ﻟﻢ ﻳﺤﺮﻙ ﺍﻟﻘﺒﺮ ﻓﻠﻮ ﺻﻠﻰ ﺭﺟﻞ
ﺇﻟﻰ ﺟﺎﻧﺐ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻘﺒﺮ ﺃﻭ ﻓﻮﻗﻪ ، ﻛﺮﻫﺘﻪ ﻟﻪ ﻭﻟﻢ ﺁﻣﺮﻩ ﻳﻌﻴﺪ ؛ ﻷﻥ
ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻳﺤﻴﻂ ﺑﺄﻥ ﺍﻟﺘﺮﺍﺏ ﻃﺎﻫﺮ ،
ﻟﻢ ﻳﺨﺘﻠﻂ ﻓﻴﻪ ﺷﻲﺀ ، ﻭﻛﺬﻟﻚ ﻟﻮ ﻗﺒﺮ ﻓﻴﻪ ﻣﻴﺘﺎﻥ ﺃﻭ ﻣﻮﺗﻰ "
“ Dan pekuburan adalah tempat pengkuburan untuk
umum. Demkian itu sebagaimana aku telah sifatkan
yaitu bercampur dengan mayat-mayat. Adapun padang
sahara, tidak ada satupun kuburan di dalamnya yang
jika satu kaum kematian seseorang, kemudian tidak
diaduk kuburan tersebut, maka seandainya ia sholat di
samping kuburan tersebut atau di atasnya, maka aku
menghukuminya makruh dan aku tidak
memerintahkannya untuk mengulangi sholatnya,
karena diketahui benar bahwa tanah itu suci tidak
bercampur sedikitpun dengan sesuatu, demikian juga
seandainya dikuburkan dua atau beberapa mayat di
dalamnya “.
Catatan :
Cukup jelas nash imam Syafi’I tersebut memberikan
faedah bahwa pekuburan yang tergali adalah najis dan
tidak sah sholat di dalamnya. Adapun pekuburan yang
tidak tergali, maka hukumnya suci dan sholat di
dalamnya hukumnya sah. Demikian juga beliau imam
Syafi’I mengembalikan illatnya (sebab pelarangan) pada
dikhawatirkannya najis, jika najisnya hilang, maka
hilanglah hokum kemakruhannya.
Firanda berkata :
Dan telah lalu atsar kisah Anas bin Malik yang sholat di
dekat kuburan tanpa ia sadari, dan tentunya Anas tidak
sedang mencari barokah dikuburan. Namun demikian
ia tetap ditegur oleh Umar bin Al-Khottoob radhiallahu
'anhu.
Oleh karenanya wajib bagi Habib Munzir –yang telah
menukil dan sepakat dengan perkataan Al-Baidhowi
ini- untuk mendatangkan dalil yang mengkhususkan
dalil-dalil umum dan mutlak larangan sholat di
kuburan…!!! Karena sebagaimana yang dikenal dalam
ilmu ushul fikih jika datang dalil secara umum dan
mutlak lantas tidak ada dalil yang mengkhususkannya
atau mentaqyidnya maka dalil tersebut tetap pada
keumuman dan kemutlakannya.
Jawabanya :
Justru atsar tersebut menjelaskan kebolehan sholat di
samping kuburan, karena saat itu Anas bin Malik sholat
menghadap kuburan, lalu ketika Umar bin Khoththob
menegurnya, maka Anas bin Malik melangkahi kuburan
tersebut dan tetap melanjutkan sholatnya tanpa
mengulangi sholatnya lagi dan bahkan Umar bin
Khoththob pun tidak memerintahkannya utk
mengulangi sholatnya.
Oleh karena itu imam Ibnu Hajar mengomentari atsar
tersebut setelah menukilnya sebagai berikut :
ﻭَﻗَﻮْﻟُﻪُ ﻭَﻟَﻢْ ﻳَﺄْﻣُﺮْﻩُ ﺑِﺎﻟْﺈِﻋَﺎﺩَﺓِ ﺍﺳْﺘَﻨْﺒَﻄَﻪُ ﻣِﻦْ ﺗَﻤَﺎﺩِﻱ ﺃَﻧَﺲٍ ﻋَﻠَﻰ
ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﻭَﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﺫَﻟِﻚَ ﻳَﻘْﺘَﻀِﻲ ﻓَﺴَﺎﺩَﻫَﺎ ﻟَﻘَﻄَﻌَﻬَﺎ ﻭَﺍﺳْﺘَﺄْﻧَﻒَ
Dan perkataanya “Dan tidak menyuruhnya mengulangi
(shalat)” merupakan istinbath dari meneruskannya
Anas akan shalat. Andaikan yang demikian itu merusak
shalatnya, tentu diputus shalatnya dan mengulanginya
dari semula. [Fathul Bari libni Hajar I:524, Darul
Ma’rifah, Beirut, 1379]
Dan rupanya firanda tak paham kaidah ushul fiqih
berikut ini :
ﺍﻟﻨَﻬْﻲُ ﻳَﺪُﻝُّ ﻋَﻠَﻰ ﻓَﺴَﺎﺩِ ﺍﻟﻤُﻨْﻬِﻰِّ ﻋَﻨْﻪُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻌِﺒﺎﺩَﺍﺕِ ﺍَﻭِ
ﺍْﻟﻤُﻌًﺎﻣًﻼﺕِ
“ Pelarangan menunjukkan atas rusaknya perbuatan
yang dilarang baik berupa perkara ibadah atau pun
mu’amalah “.
Misalnya : Larangan shalat dan puasa bagi wanita yang
haid dan nifas, maka jika sholat tetap dilakukan, maka
sholatnya rusak.
Nah jika hadits sholat menghadap kuburan atau sholat
di sisi kuburan sebuah larangan keharaman, maka
sudah pasti kaidahnya sholat itu rusak dan batal. Tapi
sahabat Anas bin Malik tidak mengulangi sholatnya, itu
artinya sholat beliau sah dan tidak rusak.
(Ibnu Abdillah Al-Katibiy)
Artikel keren lainnya: