Segala sesuatu, apa pun itu, sebenarnya memiliki nilai netral, yakni tidak baik juga tidak buruk. Nilai netral tersebut sifatnya potensial, dalam arti setiap sesuatu itu bisa bernilai baik dan membawa kebaikan, juga dapat bernilai buruk dan membawa keburukan. Baik atau buruknya sesuatu itu sangat tergantung bagaimana kita menggunakan dan memperlakukannya.
Sebagai contoh sederhananya adalah KATA. Kata apapun dalam bahasa apapun, suku bangsa manapun, di dunia ini, semuanya, nilainya netral: tidak baik juga tidak buruk. Mari kita ambil sebuah kata sebagai contoh kongkritnya: JEMBUT. JEMBUT merupakan salah satu kata dari sekian juta kata dalam bahasa Jawa, yang artinya rambut kemaluan. Pada dasarnya JEMBUT itu nilainya samasama netralnya dengan kumis (rambut di atas bibir), jenggot (rambut di dagu), brewok (rambut di pipi atau permukaan rahang), bulu (rambut dipermukaan kulit), rambut kepala dan rambut ketiak. Hanya perbedaan tempat tumbuhnya sajalah yang membedakan penamaannya.
Naasnya, kata JEMBUT kerap terdzholimi akibat penilaian tidak adil oleh umumnya orang. Kebanyakan orang menganggapnya sebagai kata yang “jorok”, “kotor”, “buruk” dan stigma negatif lainnya. Sampaisampai ketika ada orang yang mengucapkannya, orang tersebut langsung diklaim, dicap, distempel, sebagai orang yang tidak bisa menjaga mulut karena telah berkata jorok, kotor dan sebagainya. Padahal, dalam ilmu komunikasi, efektifitas pemilihan dan penggunaan kata merupakan salah satu kriteria berbicara yang baik. Dan kata JEMBUT itu sendiri merupakan kata yang paling efektif dan spesifik (dalam bahasa Jawa) untuk menyebutkan rambut kemaluan. Ini artinya, keberadaan kata JEMBUT dalam budaya dan peradaban Jawa sangatlah penting, sama pentingnya dengan kedudukan kata lainnya sesuai dengan tujuan peruntukannya.
Untuk lebih jelasnya, mari kita simak bersama contoh penggunaan kata JEMBUT dalam kalimat, berikut ini:
1. “JEMBUTku durung cukul” (Rambut kemaluan saya belum tumbuh)
2. “Nyukur JEMBUT 40 dino pisan, iso ningkatake gairah seks” (Mencukur rambut kemaluan 40 hari sekali, dapat meningkatkan gairah seks)
3. “Koen koyok JEMBUT!” (Dasar kamu seperti rambut kemaluan!)
Analisis:
Kata JEMBUT pada kalimat ke-1 sifatnya informatif dan nilainya netral. Informatif, karena kalimat tersebut memuat sebuah informasi yakni mengabarkan tentang suatu keadaan. Netral, karena keberadaannya tidak merugikan atau menguntungkan siapapun, sehingga tidak bernilai positif maupun negatif.
Sedangkan pada kalimat ke-2 selain informatif juga nilainya positif (baik), sebab informasi yang disampaikan mengandung hikmah, sehingga ada manfaat yang bisa diambil darinya yakni tentang keutamaan mencukur rambut kemaluan. Dan boleh jadi seorang tabib (termasuk mungkin juga Mak Erot) akan mendapat uang banyak (kebaikan) setelah memberikan resep tersebut pada salah seorang pasien. Ya, karena resep itu jitu, sehingga pasiennya bertambah dan uangnya melimpah.
Lain halnya pada kalimat ke-3, kata JEMBUT diperlakukan secara emosional dan tidak proporsional dengan tujuan penggunaan yang negatif (buruk) yakni melecehkan seseorang dengan menyamakannya seperti rambut kemaluan. Akibatnya, orang yang melecehkan tadi mendapat pukulan keras tepat di mulut / ditonjok (mendapat keburukan) karena orang yang dikatai seperti JEMBUT tadi merasa tidak terima dan marah.
Jadi, jelas sudah, bahwa KATA termasuk apapun lainnya itu pada mulanya bersifat netral, namun akan berubah nilainya sesuai penggunaan dan perlakuannya.
Semoga tulisan ini ada manfaatnya, minimal dapat memberikan “kesegaran” buat Anda semua, utamanya dapat membuat kita semakin adil terhadap kata, bijak dalam memilih dan menggunakannya sehingga informasi yang kita sampaikan dapat diterima secara baik yang pada muaranya dapat membawa kebaikan bersama. Nitip pesan sedikit: “Pergunakan dan perlakukan apapun dengan baik, maka Anda akan mendapatkan kebaikan darinya”
Artikel keren lainnya: