Sejak lama Pasuruan dikenal banyak orang sebagai kota gudangnya ulama dan habaib. Salah satu tokoh dakwah kota ini adalah Habib Taufiq bin Abdul Qadir bin Husein Assegaf. Tak ada yang meragukan ketokohannya. Bukan hanya di kota Pasuruan, pengaruh dakwahnya juga mencakup kota-kota lain di Jawa Timur. Namanya juga amat familiar bahkan hingga ke berbagai pelosok negeri ini.
Pria kharismatis kelahiran Pasuruan, 1969, ini tak pernah menempuh pendidikan formal, namun dari pendidikan ta’lim ke ta’lim. Sekalipun demikian, ia sosok dai yang kreatif dalam berdakwah dan dikenal berwawasan luas.
Di bulan Ramadhan, malam-malam kota Pasuruan tampak semarak dengan nuansa dakwah lewat acara Khatmul Qur’an yang dipandu oleh sang habib. Acara Khatmul Qur’an adalah tradisi warga Pasuruan yang sudah berjalan bertahun-tahun. Acara ini digelar setiap malam di bulan Ramadan, yaitu mulai malam ke-9 Ramadan sampai malam ke-29 Ramadhan.
Dulunya, acara Khatmul Qur’an ini digagas oleh ulama kota Pasuruan, Habib Abdul Qadir Assegaf, yang tak lain ayahanda Habib Taufiq, menantu Habib Ja’far bin Syaikhan Assegaf, ulama besar Pasuruan yang juga dikenal sebagai salah satu guru Kiai Hamid Pasuruan. Habib Taufiq terus menghidupkan tradisi salafush shalih ini, yaitu
ihya’ al-layali Ramadhan, menghidupan malam-malam bulan Ramadan, yang tentunya dengan amalan-amalan baik. Alhamdulillah, kota Pasuruan pada setiap malam Ramadhan pun tampak begitu hidup dan semarak dengan acara-acara keagamaan, dan ribuan orang berbondong-bondong menghadiri acara tersebut.
Tugas BersamaMenyenangkan, ramah, dan sangat luas serta arif dalam memandang setiap permasalahan. Itu kesan yang ditangkap
alKisah saat berjumpa dengan Habib Taufiq di rumahnya, sekitar sebulan silam.
Saat ditanya tentang kondisi umat Islam saat ini yang tampaknya semakin jauh meninggalkan jejak salafush shalih, Habib Taufiq menyampaikan pandangan luasnya sekaligus menuturkan langkah apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki keadaan ini.
”Sekarang, kita ini sudah ketinggalan jauh dari salaf. Ya semuanya, ilmunya, akhlaqnya, ibadahnya. Semuanya itu nyaris sudah tak tampak dari kita sehari-hari.
Kita mengenal mereka semuanya sebagai ulama, tapi semakin sedikit di antara kita, yang generasi sekarang ini, yang serius menekuni ilmu agama.
Mereka juga ahli ibadah, tapi kini kita jarang yang melaksanakan qiyamullail, awrad datuk-datuknya sendiri juga sudah tak lagi dibaca. Keturunan mereka sendiri sudah tak tahu lagi apa saja amaliyah salaf mereka....
Begitu pula di kalangan Alawiyyin sendiri. Ini adalah tugas bagi setiap Alawiyyin yang masih sadar dan masih memiliki kepedulian pada Alawiyyin.
Bagaimana cara kita memperbaiki Alawiyyin?
Ada tiga hal yang harus ditangani bersama.
Pertama, tarbiyah. Kita harus mendidik putra-putri kita agar kalau dewasa nanti tidak menjadi musuh kita. Kita didik mereka agar kalau sudah besar nanti mereka menjadi orang yang baik untuk agama.
Kedua, ekonomi mereka. Kita penuhi sisi ini, jangan sampai kekurangan, yang justru sampai-sampai orang lain yang memikirkan kita. Harus ada kesadaran pihak-pihak yang sanggup menanggulangi masalah ini dan harus ada pula pihak yang dipercaya untuk menanggung amanah dalam mengkoordinasikannya.
Ketiga, mengubah budaya. Jangan pajang foto-foto yang tak perlu dalam rumah tangga-rumah tangga kita, khususnya keluarga Alawiyyin. Pakaian-pakaian mereka yang sudah tak tepat harus diubah, diganti dengan pakaian-pakaian yang sesuai syari’at Islam. Tontonan-tontonan di rumah diubah, simpanan kaset-kaset dan CD-CD yang tak sesuai di rumah diubah, diganti dengan koleksi kaset-kaset ceramah.
Ini adalah tugas bagi mereka yang masih sadar. Para pendidiknya, para kepala keluarganya, dan semua pihak lainnya. Sayangnya, mereka masih asyik berjalan sendiri-sendiri. Ini repot. Bisa saling melemahkan.
Contohnya, anak ditaruh di pondok, pulang ke rumah, budayanya bertentangan dengan kebiasaannya di pondok. Kira-kira bisa bertahan berapa lama si anak dengan kebiasaan lamanya di pondok? Tak akan lama, si anak akan kembali jauh dari nilai-nilai agama yang ia dapat di pondok.
Aset kita sebenarnya banyak, tapi sayangnya terbengkalai. Gerakan dakwah kita, bagaimana pun mereka menampilkan gaya dakwah mereka, itu adalah aset kita. Tinggal kita benerin, apa yang kurang gimana caranya jadi tidak kurang, apa yang salah gimana caranya menjadi benar.
Kalaupun memang tidak benar, ayolah, arahkan untuk lebih benar, jangan saling bermusuhan, apa gunanya? Saya pun berdakwah dengan banyak cara.
Kita panggil semua pihak dan terus-menerus bicarakan semua masalah yang berkembang. Jangan kedepankan egoisme. Kedepankan pelayanan dan penjagaan pada umat.
Ada orang yang bisa bergerak dengan kemampuan ilmunya, ada yang dengan kemampuan finansialnya, ada yang dengan kemampuannya masing-masing. Sebaliknya, yang tidak mampu, jangan hanya duduk pada tempatnya.”-
Beragam Aktivitas DakwahSemasa kecil, Habib Taufiq diasuh oleh ayahandanya, Habib Abdul Qadir bin Husein Assegaf, dengan sebaik-baik asuhan dan didikan agama. Melengkapi bimbingan yang ia terima dari sang ayah, ia pun melanjutkan ta’limnya kepada ulama dan habaib yang ada di Pasuruan, salah satunya Habib Ahmad bin Hadi Al-Hamid.
Tak hanya Habib Ahmad, rumah habaib dan ulama ternama kota Pasuruan satu per satu ia datangi, untuk menimba ilmu mereka. “Karena itu minimlah ilmu saya. Karena saya tidak belajar seperti halnya para lulusan pesantren luar negeri,” kata Habib Taufiq merendah.
Setelah banyak belajar dari ulama dan habaib yang ada di kota Pasuruan, ia melanjutkan pelajarannya kepada seorang ulama Surabaya, yakni Habib Umar bin Hasyim Ba’agil, yang dikenal kefaqihannya. Selama belajar kepada Habib Umar, ia tinggal di Surabaya selama seminggu dan seminggu kemudian di Pasuruan. Aktivitas itu ia jalani sampai Habib Umar bin Hasyim Ba’agil wafat.
Setelah menggali ilmu ke berbagai tempat dari para ulama dan habaib, mulailah ia merintis dakwah, melanjutkan rintisan dakwah para pendahulunya. Pada awalnya ia hanya membuka madrasah di Jln. K.H. Wahid Hasyim (barat masjid kota) Pasuruan. Ia kemudian melanjutkan pengelolaan madrasah yang pernah diasuh oleh Habib Ja’far bin Syaikhan Assegaf (kakeknya) dan Habib Abdul Qadir bin Husein Assegaf (ayahnya).
Untuk mematangkan konsep dan langkah berdakwah, sejak tahun 2003 yang lalu ia mendirikan Pondok Pesantren Sunniyah Salafiyah di Jln. Sidogiri, Pasuruan. Meski pesantrennya tergolong muda usia, kini di Jawa Timur pengaruh pesantrennya ini sangat besar.
Untuk melebarkan sayap dakwahnya, dengan modal semangat bajanya dalam berdakwah ia memberanikan diri menerbitkan Majalah
Cahaya Nabawi. Media dakwah ini adalah terobosan dakwahnya yang kreatif dan terbukti efektif untuk dapat masuk pada rumah-rumah kaum muslimin di berbagai penjuru wilayah tanah air. Di balik kebersahajaan majalah ini, terkandung isi yang sarat dengan ajaran agama. Amat wajar bila majalah ini pun cepat merebut pangsa pasar yang tersebar di tanah air.
Selain membagi waktu untuk mengelola majalah, ia juga rajin menyampaikan taushiyah. Di tengah kesibukannya mengelola ta’lim, majalah, radio, dan berceramah di sekitar Pasuruan, ia juga berdakwah ke berbagai wilayah di perbagai penjuru tanah air. Bahkan jangkauan dakwah Habib Taufiq merambah pada wilayah-wilayah yang terpencil.
Sampai sekarang ia secara rutin membina umat di daerah-daerah yang minoritas muslim, seperti daerah Tengger, Sampit, Bali. Habib Taufiq juga tak segan-segan mengirim santri-santrinya dan mendampingi masyarakat yang awam pengetahuan agama.
Di tengah kesibukannya berdakwah langsung ke masyarakat, ia juga juga mempunyai jadwal tetap, yakni mengajar ta’lim di rumahnya di Jln. K.H. Wahid Hasyim atau tepatnya di barat masjid kota Pasuruan tiap hari jam enam pagi dan diteruskan dengan pembacaan kalam salaf. Majelis ta’lim yang sudah berlangsung turun-temurun dari sang kakek, Habib Ja’far bin Syaikhan Assegaf, dan ayahnya, Habib Abdul Qadir bin Husein Assegaf, yakni membaca kitab
Ihya Ulumiddin, yang diikuti masyarakat Pasuruan dan sekitarnya.
Melihat perkembangan zaman yang sangat menghawatirkan bagi kaum muslimah, Habib Taufiq kemudian berinisiatif mendirikan pondok pesantren putri, yang kemudian dinamainya ”Azzahra”, dengan tujuan mengembalikan kaum muslimah ke jalan yang sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah, serta mengikuti jejak para salafunash shalihin.
Agar dakwahnya lebih syi’ar, setiap ta’lim di rumahnya maupun di pesantrennya dipancarkan langsung melalui Radio Suara Nabawiy, yang juga berada di bawah pengelolaannya, melalui frekuensi 107 FM dan 747 AM.
Keberadaan radio Suara Nabawy ternyata merangsang berdirinya sejumlah radio dakwah lain di Jawa Timur, yang sebagian besar dikelola oleh para dai muda yang pernah belajar kepadanya, seperti oleh Habib Hasan Al-Muhdhar di Kraksan, Probolinggo, Habib Umar Al-Hamid di Jember, Habib Sholeh Bin Jindan di Banyuwangi, serta beberapa radio dakwah lainnya di kawasan Tapal Kuda.-
Trah Keluarga Al-Qur’anAcara Khatmul Qur’an yang dipimpinnya, yang kemudian mendapat sambutan hangat dari kaum muslimin kota Pasuruan dan sekitarnya, tentu tak terlepas dari didikan yang ia terima dalam lingkungan keluarganya yang sarat dengan nilai-nilai Al-Qur’an. Tak aneh, ayah maupun kakeknya adalah para ulama yang sangat akrab dengan kehidupan Qur’ani.
Kakeknya dari pihak ibu, Habib Ja’far bin Syaikhan Assegaf, adalah seorang ulama yang mendapat julukan ”Al-Qur’an Berjalan”. Julukan yang sangat tepat. Pasalnya, hafalan, bacaan, dan pemahamannya terhadap Al-Qur’an amat mengagumkan. Ia mengeluarkan berbagai ilmu dari Al-Qur’an yang bermanfaat dan pemahaman-pemahaman yang baik. Begitu kuat hafalan dan pemahamannya, hingga sering ia menandai tanggal dengan ayat Al-Qur’an.
Ketika Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi membangun masjid di Kwitang, Jakarta, Habib Ja’far mencatatnya dengan firman Allah Ta’ala pada ayat 99 dari surat Al-Hijr, yang bermakna, ”Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini.” Jumlah nilai huruf yang ada dalam ayat ini menurut abjad Arab adalah 1356, persis dengan tahun pembangunan masjid itu (1356 H/1937 M).
Pada kesempatan lain, ketika Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi bertemu dengannya, ia pun mencatat tahun pertemuan tersebut dengan firman Allah, ”Sesungguhnya ini adalah saudaraku.” (QS Shad: 23). Jumlah ini nilai hurufnya 1368, persis dengan tahun pertemuan itu, yakni 1368 H/1949 M.
Itu bukan suatu kebetulan, nemun merupakan salahsatu tanda kekuasaan Allah yang diberikan kepada Habib Ja’far bin Syaikhan Assegaf.
Ia juha mencatat tahun selesainya pembangunan Masjid Riyadh di Gurawan, Solo, dengan firman Allah, ”Lalu mereka menjadi orang-orang yang menang (dikenal).” (QS Ash-Shaf: 14), yang nilai hurufnya berjumlah 1354. Ayat itu sebagai pertanda bahwa Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi akan menjadi ulama termasyhur yang menggantikan ayahnya, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi.
Para ulama di masanya mengakui kapasitas keilmuan Habib Ja’far. ”Jika semua makna ayat Al-Qur’an, hadits-hadits Nabawiy, dan pemahaman-pemahaman sufistis dari lisan Habib Ja’far dicatat, akan banyak yang dikumpulkan,” tutur menantunya, Habib Abdul Qadir bin Husein Assegaf, ayahanda Habib Taufiq, alam kitabnya
, Layal al-Qadr.
Ayahnya, Habib Abdul Qadir bin Husein Assegaf, adalah murid Habib Muhammad bin Hadi Assegaf dan Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf (ayahanda Habib Abdul Qadir Jeddah), yang tergolong murid-murid terkemuka Shahib
Simthud Durar, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi.
Hari-hari di bulan Ramadan selalu diisinya dengan ibadah. Di setiap pertengahan malam ia bertahajjud sampai sekitar 45 menit sebelum fajar, setelah itu ia baru sahur dengan keluarga. Setelah shalat Subuh berjama’ah di masjid Jami’ Al-Anwar, ia berziarah ke makam Habib Jafar, yang terletak persis di barat masjid sampai terbit matahari.
Ia kemudian pulang beristirahat sejenak, di pertengahan waktu shalat Dhuha, dan tidak beranjak dari mihrabnya sampai datangnya waktu shalat Zhuhur.
Setelah shalat Zhuhur berjama’ah, ia membaca dua juz Al-Qur’an dan terus berada di mihrab sampai ashar.
Setelah waktu Ashar, ia shalat di masjid dan mengadakan majelis rauhah.
Kemudian, 20 menit menjelang buka, ia mengajak para fakir dan miskin dan untuk berbuka bersama. Setelah itu ia shalat Maghrib berjama’ah.
Sekitar 30 menit waktu sebelum shalat Isya, ia baru makan bersama dengan keluarga sampai datang waktu Isya.
Setelah waktu isya, ia keluar rumah. Kemudian jama’ah diajak membaca surah Ya-Sin,
Ratibul Haddad, Ratibul Attas, shalat Isya, shalat Tarawih, shalat Witir, dan dilanjutkan dengan shalat Tasbih.
Ibadah-ibadah rutin ini diamalkan secara istiqamah selama bulan Ramadhan.
Ia juga menjaga shalat jama’ah, tidak pernah ditinggalkan. Kalau tidak mendapatkan jama’ah, ia rela membayar orang-orang fakir untuk diajak shalat jama’ah, karena itu adalah sunnahnya Rasulullah SAW. Ia sangat menjaga sunnah-sunnah Rasulullah SAW, hampir-hampir tidak ada amalan sunnah yang ia tingalkan. Apa yang menjadi sunnah Nabi, ia selalu berusaha untuk mengerjakan.
Tradisi berdzikir dan membaca Al-Qur’an dibawanya sampai menjelang wafat pada waktu ba’da ashar, 19 Syawwal 1399 H/11 September 1979 M.
Di akhir umurnya sebelum meninggalkan dunia yang fana ini, ketika detik-detik terakhir, selang beberapa menit sebelum wafat, dibukanya seluruh jendela, lalu ia terbaring dan membaca ayat Al-Qur’an, yakni QS At-Tawbah: 128-129. Ketika sampai bacaan
la illa hu… saat itulah ruhnya dicabut oleh Allah SWT.