Inilah Rahasia Pernafasan Dalam Al Quran
Mungkin ada sebagian dari kita yang pernah terpikir bahwa pembacaan al-Quran sesuai dialek Arab dan tepat panjang-pendeknya tidaklah terlalu penting. Yang terpenting adalah pemahaman makna dan penghayatannya dalam kehidupan sehari-hari.
Tentu pandangan seperti ini tidak sepenuhnya tepat. Memang pemahaman, penghayatan dan pengamalan ayat-ayat suci ini adalah urgensi utama, namun bukan berarti kita boleh melalaikan tata aturan pembacaannya sebagaimana diatur dalam ilmu Tajwid sebagai modal dasar.
Allah Ta’ala jelas-jelas menegaskan;
ورتل القرأن ترتيلا
“… dan bacalah al-Quran itu dengan tartil (perlahan-lahan dan jelas).” (Al-Muzammil; 4)
Lalu apa itu Tartil? Sidi ‘Ali bin Abi Thalib menyatakan;
“Tartil adalah memperbaiki bacaan huruf-huruf dan mengetahui perihal waqaf-waqaf.”
Pembacaan secara tartil ini tidak hanya bertujuan untuk menjaga makna harfiah yang dikandung ayat-ayat tersebut agar tidak berubah, tetapi juga berpengaruh terhadap kondisi fisik dan psikis pembacanya melalui olah napas. Kitab Sucial-Quran, di samping sebagai panduan kehidupan, juga merupakan praktik pernapasan. Bagi kaum sufi, sumber utama praktik pernapasan yang menjadi unsur utama dari semua bentuk meditasi dalam rangka penenangan diri adalah Kitab Sucial-Quran.
Napas dan Kehidupan
Manusia tidak datang ke bumi untuk tinggal selamanya. Kehidupan ini, dilihat dari permulaan hingga akhirnya, adalah satu rangkaian praktik pernapasan yang terus menerus.
Komponen diri kita selain fisik (badan) dan mental (fikr) adalah jiwa (ruh). Interaksi tiga unsur ini diaktifkan dengan memakai nyawa. Nyawa berbeda dengan jiwa (ruh), istilah untuk nyawa pengaktif ini adalah ‘napas’ (nafs). Nyawa diaktifkan di tempat napas, bibir-bibir tempat bersatunya napas-dalam dan napas-luar merupakan penghubung antara hidup dan mati.
Kita dapat hidup tanpa aktivitas mental maupun gerakan fisik. Tapi tanpa napas, hidup kita akan berhenti dalam tempo yang sangat singkat. Ada orang yang hidup tanpa mental, meskipun elektroensefalograf (EEG) menunjukkan bahwa gelombang otaknya tidak berfungsi, namun ia bisa tetap hidup dengan bantuan alat-alat mekanis. Ia disebut ‘mati otak’ tetapi masih dianggap hidup dan kita tentu tidak menguburkannya. Artinya, ada sesuatu yang lebih unggul daripada keberadaan mental (fikriyyah) dan fisik (badaniyyah), orang seperti ini masih memiliki sesuatu yang tersisa dari kehidupannya, yaitu napas.
Berlanjutnya napas ini adalah mutlak izin dari Allah Ta’ala, Tuhan semesta alam. Pertama, Dia memberikan izin-Nya kepada jiwa manusia untuk hidup, dan sepanjang masih ada izin tersebut, kita bisa menarik napas keluar-masuk . Bila izin tersebut dicabut, maka tiada lagi napas dan hidup pun tamat.
Al-Quran dan Olah Napas
Hal paling penting adalah bahwa al-Quran bukanlah buatan manusia, ia mengandung Ucapan-ucapan Allah sendiri yang benar-benar abadi dan tidak diciptakan. Karenanya, tidak ada ‘karya tulis’ lain yang mampu menyetarai kesempurnaan dan keserasian dalam kata-katanya. Pengamat yang paling obyektif sekalipun tidak akan sanggup untuk tidak terkesan bila mendengar al-Quran dibacakan. Keindahan,lagu, dan keanggunannya jauh mengungguli yang lain.
Hal penting lainnya adalah bahwa pada tujuh ayat pertama yang tercantum di dalam al-Qur’an berupa surah al-Fatihah, seluruh bunyi yang ada dalam Bahasa Arab benar-benar dilafalkan. Yakni ketika lima tempat keluarnya huruf (makhraj) dibunyikan melalui huruf-hurufnya masing-masing.
Sebagaimana kita tahu, makharijul huruf adalah tempat-tempat atau letak keluarnya huruf-huruf hijaiyah ketika membunyikannya. Makharijul Huruf Hijaiyah ini ada 17 tempat, dan bila diringkas ada 5 tempat, yakni; Al-Jauf (lubang / rongga mulut), Al-Halqu (tenggorokan / kerongkongan), Al-Lisanu (lidah), Asy-Syafatain (dua bibir) dan Al-Khoisyum (janur hidung). Nah, kelima makhraj ini terbunyikan dalam tujuh ayat pertama al-Quran.
Contohnya ghain yang masuk ke dalam golongan makhraj al-Halqu. Bila diucapkan, huruf ini menyebabkan semacam suara yang menggeram dan garau di belakang kerongkongan. Masing-masing huruf mengeluarkan pola getaran yang merambat ke arah tertentu dalam tempo tertentu, serta menghasilkan efek-efek fisik, mental dan spiritual tertentu.
Berbagai kombinasi vokal dan konsonan bersatu membantu merangsang dan mengaktifkan sifat-sifat ketuhanan, sebagaimana tercantum dalam al-Asmaul Husna, ke seluruh tubuh si pembaca dalam ukuran yang sempurna.
Aktivasi Sifat-sifat Ketuhanan
Organ yang sangat vital hubungannya dengan napas adalah jantung. Jantung ini bukan sekedar pompa fisiologis yang mengedarkan oksigen via darah ke seluruh tubuh. Ia menjalani dua fungsi yang saling terkait dan lebih vital. Pertama, jantung adalah gudang bagi potensi sifat-sifat ketuhanan, dan kedua adalah sebagai pabrik napas, tenaga yang mengaktifkan hidup yang menyertai setiap desah napas, napas yang mengaktifkan semua fungsi psikologis.
Jadi, ketika izin diperoleh –berupa napas-, ia langsung menuju jantung. Dengan mekanisme yang sangat khusus, izin ini mengaktifkan seluruh potensi sifat ketuhanan dalam berbagai kombinasi, lalu diejawantahkan dalam tubuh.
Dalam al-Quran, setidaknya disebutkan 99 Nama Indah Tuhan (al-asma’ul husna) yang sekaligus mencerminkan Sifat-sifat-Nya, digunakan oleh-Nya sebagai alat yang memungkinkan manusia untuk berfungsi dan bekerja dengan tubuh ciptaan-Nya.
Umpamanya, salah satu dari asma’-Nya yakni al-Bashiir, Yang Maha Melihat, tak ada yang luput dari Pandangan-Nya. Sifat Bashir ini pun tertanam sebagai potensi kita yang tersimpan di dalam hati. Ketika Allah memasukkan izin-Nya melalui suatu napas, dan digabungkan dengan bunyi-bunyi tertentu yang kita keluarkan, maka potensi tersebut kemudian akan menjalar melalui suatu jaringan berupa gas via cairan tubuh. Potensi ini akan bergerak melalui jaringan tersebut menuju lensa mata yang basah begitu sampai di sana, potensi menyatu dengan bagian tubuh secara fisik dan menjadi penglihatan yang sesungguhnya. Termasuk juga persepsi, wawasan maupun kesan ketika memandang panorama alam raya.
Potensi-potensi yang tercakup dalam 99 Sifat Mulia ini tersimpan di dalam hati dan bisa diaktifkan dengan menggunakan berbagai kombinasi bunyi yang kita keluarkan ketika menyusun kata-kata tertentu.
Ada tiga bunyi vokal dasar dalam Bahasa Arab, yakni huruf alif (mewakili vokal fathah, a), wau (untuk vokal dlommah, u) dan ya (pada vokal kasroh, i). Semua bahasa menggunakan tiga bunyi vokal-panjang dasar ini, dan ketiganya dapat dianggap sebagai kesatuan harmonis yang universal. Tidak hanya oleh manusia, namun diucapkan pula oleh seluruh makhluk hidup. Begitu kita sudah terbiasa dengan bunyi-bunyi ini, maka kita –konon- dapat mendengarkan percakapan seluruh alam.
Bunyi vokal panjang “ a “ (seperti dalam kata father), seperti bunyi vibrator, berjalan ke bawah agak ke kiri dari kerongkongan dan memusat di hati.Pergerakan ini akan merangsang semua potensi sifat-sifat ketuhanan yang tersimpan di dalam.
Bunyi vokal“ i “ (seperti dalam kata ini) bergerak ke arah berlawanan, ke atas sekat hidung (sengau) dan bergetar di tempat kelenjar pineal yang dianggap sebagai sisa mata ketiga, yakni organ yang peka terhadap cahaya.
Bunyi vokal“ u ” muncul ketika diucapkan persis pada bibir yang dikerutkan, yakni titik pertemuan antara napas masuk dan napas keluar. Di sanalah kegiatan kita bertemu dan berbaur dengan izin Tuhan berupa napas kehidupan.
Dari pemahaman inilah banyak di antara guru-guru sufi yang kemudian menyusunrangkaian huruf-huruf vokal dipadu dengan konsonan, atau ayat-ayat sesuai dengan kadar dan pengalaman spiritual, mirip mantra. Selain ayat-ayat dan lafadz-lafadz dzikir tertentu yang memang sudah diajarkan oleh Baginda Muhammad saw. untuk diwiridkan. Rangkaian-rangkaian ini memiliki pengaruh yang berbeda-beda, dan bisa berbentuk hizib atau bahkan ta’widz (dikenal dengan ‘rajah’).
Ta’widz semacam ini, yang biasanya memuat lambang-lambang huruf yang sulit dimengerti, memiliki fungsi sebagai sarana penyembuhan. Penyusunan dan penggunaannya pun tidak sembarangan, ada banyak pertimbangan mulai dari numerisasi, kondisi psikologis, sarana penulisan, tata cara pembacaan sampai kondisi psikologis penulis maupun pembacanya.
Susunan ini ditujukan untuk menghasilkan efek elektrifikasi yang dapat membuka kunci wilayah-wilayah padat di dalam hati. Dengan cara ini maka teraktivasilah satu atau beberapa potensi sifat-sifat ketuhanan, sehingga menghasilkan efek penyembuhan yang menakjubkan. Nah, itu semua baru sarana rangkaian manusia, lalu bagaimana dengan keampuhan sarana penyembuhan yang Allah Ta’ala susun sendiri yakni al-Quran?
Guru kami di pesantren ini (Madrastul Huffadh al-Munawwir Krapyak) sering sekali mengutipkan kalimat ini;
“Sebaik-baik ucapan adalah Ucapan Allah. Dan perbandingan antara Ucapan Allah dengan ucapan-ucapan selainnya adalah sebagaimana perbandingan antara Allah dengan makhluk-Nya.”
Contohnya, dalam permulaan tafsirnya terhadap surah Yaasiin, Syaikh Hamami Zaadah menyatakan bahwa orang lapar yang membaca surah Yaasiin dengan mengkonsentrasikan segenap perasaannya (hudhuur) bisa merasa kenyang secara fisik.
Pentingnya Tajwid
Bunyi-bunyi vokal dan konsonan ini tidak dinyanyikan atau diucapkan sembarangan, tetapi dibaca dengan suatu pembacaan khusus. Yakni pembacaan al-Quran secara benar sesuai tajwid dan makharijul huruf, dimana harus panjang (mad) dan berapa alif ukuran panjangnya, dimana harus berhenti (waqaf) atau sambungnya (washal), kapan dengung (idgham) dan kapan jelas (idzhar), kapan memantul (qalqalah) dengan ringan atau berat.
Memang ini adalah suatu bentuk pembacaan yang tidak lazim dalam percakapan sehari-hari, karena bukan nyanyian dan bukan pula obrolan pasar. Misalnya jika kita dengarkan resitasi standar yang dipresentasikan santri-santri Krapyak setiap Khatmul Quran. Tetapi kalau sudah dialami dengan baik secara konsisten, maka pembacaan ini akan membekaskan pengaruh bagi pembacanya.
Belum lagi kalau dibicarakan tentang batas dimulai dan diakhirinya napas, berupa awal dan akhir ayat. Panjang setiap ayat berbeda-beda, ada yang hanya terdiri dari satu huruf saja, bahkan ada yang panjang berbaris-baris seperti banyak tersebar disurat-surat awal; al-Baqarah, Alu ‘Imran dan an-Nisa. Panjangnya ayat tentu harus disesuaikan dengan kemampuan napas pembacanya. Sehingga ada aturan dimana boleh memutus bacaan untuk mengambil napas dan dimana memulai bacaan itu kembali.
Maka mempelajari ilmu yang mengatur semua ini, yakni Tajwid, mulai dari idzhar-idgham, waqaf-washal, tafkhim-tarqiq, mad, qalqalah, dan sebagainya, adalah suatu keniscayaan bagi seseorang yang hendak membaca al-Quran dengan baik dan benar. Bukan hal yang main-main.
~
Terakhir, seampuh-ampuhnya pengaruh al-Quran dalam rangkaian sistem jiwa-raga melalui pernapasan tidak melulu menjadikannya sebagai praktik olah napas belaka. Di dalamnya ada makna yang perlu dipahami dan diamalkan sebagai tuntunan kehidupan. Jika cara pembacaannya saja harus dipelajari melalui guru yang kompeten dalam ilmu Tajwid, apalagi perihal pemaknaannya yang berkaitan dengan berbagai macam ilmu lain yang lebih mendalam, seperti Tafsir, Asbabun Nuzul, Manthiq, Balaghah, dan selainnya. Maka tak pelak, kehadiran guru adalah suatu keniscayaan.
Menyitir ungkapan Sidi Junayd al-Baghdadi;
“Barangsiapa menjadikan dirinya sendiri sebagai guru, maka ia menjadikan syaithan sebagai gurunya.”
Wallahua’lam
Referensi |The Book of Sufi Healing – Syaikh Hakim Mu’inuddin Chisyti | At-Tibyan fi Adabi Hamalatil Quran – Imam Syaraf bin Yahya an-Nawawi | Standar Tajwid – KH Maftuh Basthul Birri