“Alhamdulillah, saya baik-baik saja. Saya datang sudah dari tadi.”
Kiai Muhith Muzadi adalah seorang yang alim dan sangat sederhana. Pakaiannya biasa-biasa saja. Beliau tidak pernah mengenakan “pakaian kebesaran” yang sering disandang para kiai, seperti jubah, sorban, dan lainnya.
Suatu hari, sang kiai, yang tinggal di Jember, Jawa Timur, diundang ceramah Maulid Nabi di Probolinggo.
Seperti biasa, beliau datang tepat waktu.
Sesampai di majelis pengajian, beberapa anak muda, termasuk panitia penerima tamu, menyambutnya biasa-biasa saja. Mereka mempersilakan Kiai Muhith duduk di kursi agak belakang, bersama warga setempat.
Acara belum juga dimulai, meski jamnya sudah molor. Panitia mulai agak gelisah. “Sudah jam segini Kiai Muhith belum juga datang.” Bahkan, seorang sesepuh kelihatan mulai marah-marah dan menyuruh seorang anak muda untuk menelepon, kalau perlu menjemput Kiai Muhith ke Jember.
Di tengah ketegangan itu, datang seorang kiai yang sangat mengenal Kiai Muhith.
Keduanya lalu berangkulan.
“Kiai Muhith, apa kabar? Kapan datang?”
“Alhamdulillah, saya baik-baik saja. Saya datang sudah dari tadi.”
Melihat itu, panitia baru sadar, Kiai Muhith adalah orang yang datang duluan dan didudukkan di kursi belakang itu. Beliau datang tepat waktu. Tentu saja mereka yang bertugas menerima tamu tadi tersipu malu.
Artikel keren lainnya: