Ketahuilah bahwa 'sahabatmu' yang tak pernah
berpisah denganmu entah dalam keadaan diam,
bepergian, tidur, diam, bahkan dalam hidup
dan matimu adalah Tuhan Penciptamu.
Selama engkau mengingatNya, niscaya Dia
menjadi 'Teman dudukmu'. Sebab, Allah Swt.
berkata, "Aku adalah teman duduk bagi orang
yang berzikir pada-Ku." Selama hatimu sedih
karena tak mampu menunaikan kewajiban
agamamu, maka Dia senantiasa menyertaimu.
Sebab Allah Swt. berkata, "Aku berada
bersama mereka yang hatinya sedih karena-
Ku." Apabila engkau betul-betul mengenali-
Nya, niscaya engkau akan menjadikan-Nya
sebagai 'sahabat' dan niscaya engkau akan
meninggalkan yang lainnya. Jika engkau tak
mampu melaksanakan hal itu setiap waktu,
maka engkau harus menyediakan waktu di
malam dan di siang hari untuk kau pergunakan
berkhalwat bersama Tuhan dan merasakan
kenikmatan bermunajat kepada-Nya. Berkenaan
dengan hal itu, engkau harus mengetahui adab-
adab menjalin hubungan dengan Tuhan. Yaitu,
menundukkan kepala, menjaga pandangan
mata, mengkonsentrasikan pikiran, senantiasa
diam, menenangkan anggota badan, segera
mengerjakan perintah, meninggalkan larangan,
tidak menolak takdir, senantiasa berzikir dan
berpikir, mengutamakan yang hak atas yang
batil, putus asa dari makhluk, tunduk dengan
perasaan hormat, risau diliputi oleh rasa malu,
tenang dalam berusaha karena yakin atas
jaminan-Nya, bertawakal kepada karunia Allah
Swt. Semua ini harus menjadi karaktermu
sepanjang siang dan malam. Itulah adab
menjalin hubungan dengan 'Teman yang tak
pernah berpisah denganmu.' Adapun semua
makhluk, dalam waktu tertentu akan berpisah
denganmu.
Adab Seorang Alim (Guru)
Jika engkau seorang alim, maka adab yang kau
harus kau perhatikan adalah sabar, selalu
santun, duduk dengan wibawa disertai kepala
yang tunduk, tidak takabur terhadap semua
hamba kecuali pada mereka yang lalim dengan
tujuan menghapus kelalimannya, bersikap
tawadu dalam setiap majelis dan pertemuan,
tidak bersenda gurau, menyayangi murid,
berhati-hati terhadap orang yang sombong,
memperbaiki negeri dengan cara yang baik dan
tidak marah, tidak malu untuk mengaku tidak
tahu, memperhatikan pertanyaan si penanya
dan berusaha memahami pertanyaannya, mau
menerima hujah dan mengikuti yang benar
dengan kembali kepadanya manakala ia salah,
melarang murid mempelajari ilmu yang
berbahaya dan mengingatkannya agar tidak
menuntut ilmu untuk selain rida Allah Swt,
melarang murid sibuk dengan hal-hal yang
bersifat fardu kifayah sebelum menyelesaikan
yang fardu ain (yang termasuk fardu ain
adalah memperbaiki yang lahir dan batinnya
dengan takwa) serta membekali dirinya terlebih
dahulu dengan sikap takwa tersebut agar sang
murid bisa mencontoh amalnya, kemudian
mengambil manfaat dari ucapannya.
Adab seorang murid
Allah SWT berfirman dalam al-Qur'an surat
al-Kahfi ayat 60-82 yang tafsir maknanya
sebagai berikut ;
60. dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada
muridnya[*]: "Aku tidak akan berhenti
(berjalan) sebelum sampai ke Pertemuan dua
buah lautan; atau aku akan berjalan sampai
bertahun-tahun".
61. Maka tatkala mereka sampai ke Pertemuan
dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya,
lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke
laut itu.
62. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh,
berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah
kemari makanan kita; Sesungguhnya kita telah
merasa letih karena perjalanan kita ini".
63. Muridnya menjawab: "Tahukah kamu
tatkala kita mecari tempat berlindung di batu
tadi, Maka Sesungguhnya aku lupa
(menceritakan tentang) ikan itu dan tidak
adalah yang melupakan aku untuk
menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu
mengambil jalannya ke laut dengan cara yang
aneh sekali".
64. Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita
cari". lalu keduanya kembali, mengikuti jejak
mereka semula.
65. lalu mereka bertemu dengan seorang
hamba di antara hamba-hamba Kami, yang
telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi
Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya
ilmu dari sisi Kami[**].
66. Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah
aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan
kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu
yang telah diajarkan kepadamu?"
67. Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu
sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama
aku.
68. dan bagaimana kamu dapat sabar atas
sesuatu, yang kamu belum mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"
69. Musa berkata: "Insya Allah kamu akan
mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan
aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu
urusanpun".
70. Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, Maka
janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang
sesuatu apapun, sampai aku sendiri
menerangkannya kepadamu".
71. Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala
keduanya menaiki perahu lalu Khidhr
melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu
melobangi perahu itu akibatnya kamu
menenggelamkan penumpangnya?"
Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu
kesalahan yang besar.
72. Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah aku telah
berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak
akan sabar bersama dengan aku".
73. Musa berkata: "Janganlah kamu
menghukum aku karena kelupaanku dan
janganlah kamu membebani aku dengan
sesuatu kesulitan dalam urusanku".
74. Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala
keduanya berjumpa dengan seorang anak, Maka
Khidhr membunuhnya. Musa berkata:
"Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih,
bukan karena Dia membunuh orang lain?
Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu
yang mungkar".
75. Khidhr berkata: "Bukankah sudah
kukatakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya
kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?"
76. Musa berkata: "Jika aku bertanya
kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini,
Maka janganlah kamu memperbolehkan aku
menyertaimu, Sesungguhnya kamu sudah
cukup memberikan uzur padaku".
77. Maka keduanya berjalan; hingga tatkala
keduanya sampai kepada penduduk suatu
negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk
negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau
menjamu mereka, kemudian keduanya
mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah
yang hampir roboh, Maka Khidhr menegakkan
dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau,
niscaya kamu mengambil upah untuk itu".
78. Khidhr berkata: "Inilah perpisahan antara
aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan
kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang
kamu tidak dapat sabar terhadapnya.
79. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan
orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan
aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena
di hadapan mereka ada seorang raja yang
merampas tiap-tiap bahtera.
80. dan Adapun anak muda itu, Maka
keduanya adalah orang-orang mukmin, dan
Kami khawatir bahwa Dia akan mendorong
kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan
kekafiran.
81. dan Kami menghendaki, supaya Tuhan
mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain
yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu
dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu
bapaknya).
82. Adapun dinding rumah adalah kepunyaan
dua orang anak yatim di kota itu, dan di
bawahnya ada harta benda simpanan bagi
mereka berdua, sedang Ayahnya adalah
seorang yang saleh, Maka Tuhanmu
menghendaki agar supaya mereka sampai
kepada kedewasaannya dan mengeluarkan
simpanannya itu, sebagai rahmat dari
Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu
menurut kemauanku sendiri. demikian itu
adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu
tidak dapat sabar terhadapnya". (QS al-Kahfi
ayat 60-82)
[*] Menurut ahli tafsir, murid Nabi Musa a.s.
itu ialah Yusya 'bin Nun.
[**] Menurut ahli tafsir hamba di sini ialah
Khidhr, dan yang dimaksud dengan rahmat di
sini ialah wahyu dan kenabian. sedang yang
dimaksud dengan ilmu ialah ilmu tentang yang
ghaib seperti yang akan diterangkan dengan
ayat-ayat berikut.
Dari Ubay bin Ka’ab, Rasulullah bersabda,
“Pada suatu ketika Musa berbicara di hadapan
Bani Israil, kemudian ada seseorang yang
bertanya, ‘Siapakah orang yang paling pandai
itu?’ Musa menjawab, ‘Aku.’
Dengan ucapan itu, Allah mencelanya, sebab
Musa tidak mengembalikan pengetahuan suatu
ilmu kepada Allah. Kemudian Allah
mewahyukan kepada Musa, ‘Sesungguhnya
Aku memiliki seorang hamba yang berada di
pertemuan antara laut Persia dan Romawi,
hamba-Ku itu lebih pandai daripada kamu!’
Musa bertanya, ‘Ya Rabbi, bagaimana caranya
agar aku bisa bertemu dengannya?’ Maka
dijawab, “Bawalah seekor ikan yang kamu
masukkan ke dalam suatu tempat, di mana
ikan itu menghilang maka di situlah hamba-Ku
itu berada!’
Kemudian Musa pun pergi. Musa pergi
bersama seorang pelayan bernama Yusya’ bin
Nun. Keduanya membawa ikan tersebut di
dalam suatu tempat hingga keduanya tiba di
sebuah batu besar. Mereka membaringkan
tubuhnya sejenak lalu tertidur. Tiba-tiba ikan
tersebut menghilang dari tempat tersebut. Ikan
itu melompat mengambil jalannya ke laut.
Musa dan pelayannya merasa aneh sekali.
Lalu keduanya terus menyusuri dari siang
hingga malam hari. Pada pagi harinya, Musa
berkata kepada pelayannya,
ﺁﺗِﻨَﺎ ﻏَﺪَﺍﺀﻧَﺎ ﻟَﻘَﺪْ ﻟَﻘِﻴﻨَﺎ ﻣِﻦ ﺳَﻔَﺮِﻧَﺎ ﻫَﺬَﺍ ﻧَﺼَﺒﺎً
‘Bawalah ke mari makanan kita. Sesungguhnya
kita telah merasa letih karena perjalanan kita
ini.’ (QS. Al-Kahfi: 62)