Qaul qadim
Ke balikan dari istilah itu adalah qaul jadid .
Jadid artinya baru. Maka qaul jadid adalah
pandangan fiqih Al-Imam Asy-syafi'i menurut
versi yang terbaru.
Qaul qadim dan qaul jadid adalah sekumpulan
fatwa, bukan satu atau dua fatwa. Memang
seharusnya digunakan istilah aqwal yang
bermakna jama', namun entah mengapa istilah
itu terlanjur melekat, sehingga sudah menjadi
lazim untuk disebut dengan istilah qaul qadim
dan qaul jadid saja.
Sejarah Terbentuknya Mazhab Asy-Syafi'i
Asy-Syafi'i pernah tinggal di Iraq dan berguru
kepada murid Imam Abu Hanifah. Sebelumnya
beliau juga pernah berguru langsung kepada
Imam Malik di Madinah.
Kita tahu pada masa itu baru berkembang 2
kutub fiqih, yaitu kutub Baghdad dengan Abu
Hanifah sebagai maha guru, dan kutub Hijaz
dengan imam Malik sebagai maha guru.
Masing-masing punya keistimewaan. Abu
Hanifah telah berhasil memecahkan sistem
istimbath hukum dengan kondisi minimnya
hadits shahih dan berserakannya hadits dhaif
dan palsu. Kondisi yang demikian telah
memaksa beliau melakukan ijtihad dan
pengembangan logika hukum dengan tetap
berlandaskan kepada hadits-hadits shahih,
meski jumlahnya sangat minim di negerinya.
Di belahan bumi yang lain, ada Imam Malik
yang tinggal di Madinah dan menjadi imam
masjid sekaligus menjadi mufti. Madinah
adalah kota sucinabi Muhammad SAW dan
para shahabat rahiyallahu anhum ajmain . Saat
itu, 100 tahunan sepeninggal generasi
Rasulullah SAW dan para shahabat, di
Madinah masih tersisa banyak anak cucu dan
keturunan generasi terbaik.
Nyaris tidak ada yang berubah dari pola
kehidupan di zaman nabi. Bahkan Imam Malik
berkeyakinan bahwa setiap perbuatan dan
tindakan penduduk Madinah saat itu boleh
dijadikan sebagai landasan hukum. Lantaran
beliau yakin bahwa mustahil generasi keturuan
nabi dan para shahabat memalsukan hadits
atau berbohong tentang nabi.
Maka salah satu ciri khas mazhab Malik adalah
kekuatan mereka menggunakan dalil, meski
kalau disandingkan dengan syarat ketat versi
Al-Bukhari nantinya, hadits itu dianggap
kurang kuat. Dan Imam Malik nyaris
menghindari logika fiqih semacam qiyas dan
sejenisnya, karena memang nyaris kurang
diperlukan. Sebab kondisi sosial ekonomi di
Madinah di zamannya masih mirip sekali
dengan zaman nabi SAW.
Berbeda dengan kondisi sosial ekonomi di Iraq,
tempat di mana Al-Imam Abu Hanifah
mendirikan pusat ilmu. Selain hadits palsu
banyak berseliweran, Iraq sudah menjadi
kosmopolitan dengan sekian banyak dinamika
yang melebihi zamannya. Banyak fenomena
yang tidak ada jawabannya kalau hanya
merujuk kepada nash-nash hadits saja.Maka
wajar bila Abu Hanifah mengembangkan pola
qiyas secara lebih luas.
Lalu di manakah posisi Al-Imam Asy-Syafi'i?
Beliau adalah murid paling pandai yang
berguru kepada Al-Imam Malik ketika beliau
tinggal di Madinah. Namunbeliau ke Iraq,
beliau juga belajar kepada murid-murid Imam
Abu Hanifah. Maka mazhab fiqih yang beliau
kembangkan di Iraq adalah perpaduan antara
dua kekuatan tersebut. Semua keistimewaan
mazhab Malik di Madinah dipadukan dengan
keunikan mazhab Hanafiyah di Iraq. Dan
hasilnya adalah sebuah mazhab canggih, yaitu
mazhab Al-Imam Asy-Syafi'i.
Sayangnya banyak orang yang tidak tahu
sejarah seperti ini, sehingga tidak sedikit yang
memandang mazhab Asy-Syafi'i dengan
pandangan minor dan kurang respek. Padahal,
logika sederhananya, dengan menggunakan
mazhab Asy-Syafi'i, boleh dibilang bahwa
setiap orang sudah otomatis menggunakan
mazhab Abu Hanifah dan Malik sekaligus.
Meski tidak secara pas boleh dikatakan
demikian.
Munculnya Qaul Jadid
Al-Imam Asy-syafi'i adalah seorang ilmuwan
tulen. Dirinya tidak akan puas dengan satu
ilmu. Adalah merupakan kebiasaan beliau
untuk melakukan perjalanan dari barat hingga
timur, dari utara hingga selatan. Seluruh
hidupnya dicurahkan untuk menuntut ilmu.
Makasetelah tinggal di Iraqbeberapa lama, Al-
Imam As-syafi'i kemudian pindah ke Mesir. Di
negeri yang pertama kali dibebaskan oleh Amr
bin Al-Ash itu, beliau menemukanbanyak hal
baru yang belum pernah ditemukannya selama
ini. Baik tambahan jumlah hadits atau pun
logika fiqih.
Maka saat di Mesir itu, beliau melakukan revisi
ulang atas pendapat-pendapatnya selama di
Iraq. Revisinya begitu banyak sesuai dengan
perkembangan terakhir ilmu dan informasi
yang beliau dapatkan di Mesir, sehingga
terkumpul menjadi semacam kumpulan fatwa
baru. Kemudian orang-orang menyebutnya
dengan istilah qaul jadid. Artinya, pendapat
yang baru. Sedangkan yang di Iraq disebut
dengan qaul qadim . Artinya, pendapat yang
lama.
Contoh Perbedaan/ Revisi
Di antara beberapa contoh perbedaan atau
hasil revisi ulang pendapat beliau adalah:
1. Air Musta'mal
Selama di Iraq, Asy-syafi'i berpandangan
bahwa air yang menetes dari sisa air wudhu'
seseorang hukumnya suci dan mensucikan.
Sehingga boleh digunakan untuk berwudhu'
lagi. Atau seandainya tetesan bekas wudhu' itu
jatuh ke dalam bejana yang kurang dari 2
qullah, maka tidak merusak apapun.
Namun saat beliau di Mesir, beliau menemukan
bahwa dalil-dalil pendapatnya itu kurang kuat
untuk dijadikan landasan. Sementara beliau
menemukan dalil yang sangat beliau yakini
lebih kuat dari dalil pendapat sebelumnya,
bahwa Rasulullah SAW dan para shahabat
tidak berwudhu' dengan air bekas wudhu'.
Sehingga pendapat beliau dalam qaul jadid
adalah sisa air wudhu' itu air musta'mal yang
hukumnya suci (bukan air najis) namun tidak
sah kalau dipakai berwudhu' (tidak
mensucikan).
2. Pensucian Kulit Bangkai
Hewan yang mati menjadi bangkai, maka
hukum bangkai itu najis. Namun kulitnya akan
menjadi suci bila dilakukan penyamakan
( dibagh ).
Sebelumnya Imam Asy-Syafi'i di Iraq
mengikuti pendapat Imam Malik bahwa yang
suci hanyalah kulit bagian luar saja. Sedangka
kulit bagian dalam tetap tidak suci. Maka boleh
kita shalat di atas kulit asalkan bagian dalam
kulit berada di posisi bawah. Sedangkan bila
posisi bagian dalam kulit atas di atas tempat
kita shalat, hukumnya tidak sah, karena
dianggap najis.
Ketika beliau hijrah ke Mesir, beliau mengoreksi
pendapatnya menjadi suci kedua-duanya.
Bagian dalam kulit dan bagian luar, keduanya
sama-sama suci setelah dilakukan
penyamakan.
Tentunya masih sangat banyak contoh-contoh
perbadaan qaul qadim dan jadid, untuk lebih
dalamnya kami persilahkan anda membaca saja
kitab yang secara khusus ditulis tentang
masalah ini. Hebatnya, kitab ini ditulis oleh
ulama betawi yang tinggal 40-an tahun di
Mesir dan Saudi. Beliau adalah Al-Ustadz Dr.
Nahrawi Abdussalam Al-Indunisy, MA. Karya
beliau yang kami maksudadalah kitab: Al-
Imam Asy-syafi'i Bainal Mazhabaihil Qadim
wal Jadid. (Imam Syafi'i: antara mazhab lama
dan baru).
Artikel keren lainnya: