***
Ini yang dimaksud (yang dipersoalkan pada) tahlilan itu makanannya, bukan bacaannya, bukan ihdauts tsawabnya kan ya ... kan (tahlilan) yang 7 hari itu yang dibicarakan dalam kitab-kitab fiqh itu memang hukumnya makruh. Makruhnya itu mengapa ? karena yang sunnah itu adalah tetangga memberikan makan kepada keluarga duka cita, berdasarkan hadits "اصنعوا لأل جعفر طعاما فقد أتاهم أمر يشغلهم ، أو أتاهم ما يشغلهم / Buatkan makanan untuk keluarga Ja'far karena mereka sedang berduka cita".
Jadi yang sunnah, tetangga memberikan makan untuk keluarga yang berduka cita, karenanya kalau dibalik, keluarga duka cita membuat makan untuk tetangga maka hukumnya makruh karena mukhalafah lis-sunnah, karenanya kata para Ulama, ini alasannya karena memberatkan.
Dalam teori ushul fiqh "الحكم يدور مع علته وجودا وعدما / Hukum itu akan selalu berputar bersama illatnya ketika ada maupun tidak ada". Karenanya kata para ulama, ketika didalam makanan yang diberikan kepada jama'ah itu murni dari keluarga duka cita maka hukumnya makruh, tapi kalau makanan itu bukan dari keluarga duka cita, dari tetangga, orang lain, maka tidak makruh, karena sudah tidak memberatkan. Kaidah ushul fiqhnya seperti itu.
Seperti diterangkan oleh salah seorang ulama mufti syafi'iyyah dari Iraq, Syaikh Abdul Karim al-Mudarris dalam kitabnya Jawahirul Fatawa, kondisi yang ada di Indonesia ketika ada orang meninggal yang dikeluarkan itu tidak murni dari keluarga duka cita tetapi banyak sumbangan dari tetangga, bahkan dulu saya, teman-teman mondok, kalau tidak punya beras, biasanya pinjam kepada orang yang keluarganya meninggal, karena oleh orang dianteri beras banyak sekali sampai berkwintal-kwintal, bahkan ketika keluarga saya meninggal juga seperti itu .... Jadi, makruh ketika itu memang murni dari keluarga duka cita, (tapi) kalau dari luar (orang lain) maka tidak makruh.
Yang kedua, seandainya ini makruh. Karena ini budaya/tradisi, kalau ini dilawan akan menimbulkan gejolak, dan ini tidak bagus.
Imam Ibnu Muflih al-Maqdisi didalam kitab al-Adab al-Syar'iyyah, mengutip dari Ibnu 'Aqil dalam kitab al-Funun, kata beliau, "Tidak selayaknya meninggalkan adat masyarakat selama adat itu tidak haram". Jadi, selama tidak haram, tidak sebaiknya meninggalkan. Mengapa ? ini bukan karena takut, tetapi berdakwah kepada masyarakat dengan pendekatan hati, dengan pendekatan lemah lembut, mengapa ? karena ini yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.
Didalam kitab tersebut diterangkan, ... karena Rasulullah Saw. membiarkan Ka'bah dan tidak melakukan rekontrusi, alasannya karena umat Islam baru meninggalkan masa-masa jahiliyah.
Suatu ketika Rasulullah Saw bersabda kepada Aisyah, ka'bah itu bukan ka'bahnya Nabi Ibrahim, pada masa jahiliyah pernah roboh, ketika orang Quraisy membangun ka'bah bersamaan dengan krisis ekonomi, karena tidak ada biaya, mk ka'bah dibangun lebih kecil. Lalu kata Aisyah, kenapa tidak dibongkar dan dibangun lagi ? kata Rasulullah : "Seandanya bukan karena kaummu baru meninggalkan masa jahiliyah, ka'bah itu saya rekontruksi".
Ka'bah saja dibiarkan, apalagi cuma tahlilan 7 hari. Penting mana mengubah ka'bah dengan mengubah acara tahlilan 7 hari. Karena ka'bah itu kiblat, kiblat umat Islam.
Ternyata ka'bah ini setelah tahun 65 hijriyah, dibongkar oleh Khalifah Abdullah bin Zubair, dibangun kembali seperti ka'bahnya Nabi Ibrahim, lebih besar dari yang ada, cuma bin Zubair ini menjadi khalifah tidak kondusif, perang terus dengan Bani Umayyah, setelah dia kalah, proyek Khalifah yang baru Abdul Malik bin Marwan adalah ka'bah ini dibongkar dikembalikan lagi ke ka'bah jahiliyah. Alasannya "ini ka'bahnya Abdullah bin Zubair, bukan ka'bahnya Rasulullah".
Akhirnya ada seorang ulama, menyampaikan kepada Abdul Malik bin Marwan, bahwa ini Abdullah bin Zaubair mendapat wasiat dari Aisyah dari Rasulullah Saw.. Setelah Bani Umayyah ini tumbang, diganti Bani Abbasiyah, Harun Ar-Rasyid punya rencana membongkar ka'bah, alasannya adalah ini ka'bah bid'ah, ka'bahnya Bani Umayyah, (lebih bid'ah daripada Tahlilan, tambahan), kemudian beliau meminta pendapat dari Ulama, ternyata apa kata Imam Malik "Jangan engkau lakukan wahai Amirul Mukminin, aku khawatir ka'bah ini menjadi mainan dari para penguasa (setiap ada penguasa ingin menarik simpat rakyat mk proyeknya membangun ka'bah, penj), maka akan hilang wibawa ka'bah dari hati umat Islam".
Ka'bah sampai sekarang dibiarkan, demi menjaga ka'bah. Tradisi 7 hari itu dibiarkan : yang pertama karena (cuma) makruh, yang kedua karena sudah adat istiadat, ketika, masyarakat banyak memberikan sumbangan yang dapat meminimalisir bahkan menghilangkan hukum makruhnya, kemudian yang ke empat, juga demi menjaga haibah -nya ulama dahulu. Para ulama, para kyai, masyayikh, pesantren-pesantren..., sampai sekarang masih tahlilan. Ulama-ulama dahulu saja membiarkan tahlilan 7 hari. Ka'bah saja dibiarkan apalagi cuma tahlilan.
(Diantara dasar yang dijadikan oleh ulama atas tradisi ini adalah) Imam Ahmad tidak shalat qabliyah maghrib, mengapa ? karena orang-orang tidak percaya kalau ini sunnah, akhirnya beliau tidak shalat. Jadi bukan takut, tetapi menjaga tidak terjadi benturan dengan masyarakat. Itu cara didalam berdakwah, bukan langsung "bid'ah, syirik", bukan seperti itu.
Sumber
Artikel keren lainnya: