Menyimak Diskusi Santai antara
Abu Hanifah dan Al-Baqir .
Imam Muhammad Al-Baqir (57-114.H) adalah
salah seorang keturunan Nabi SAW yang sudah
sangat terpopuler di kota Madinah. Al-Baqir
seringkali dikunjungi tokoh-tokoh besar yang
hidup di masanya, semisal
Sufyan Ats-Tsauri, Sufyan bin
Uyainah dan Imam Abu Hanifah
(80-150 H). Di sini ada sebuah
obrolan menarik antara Imam Abu Hanifah dan
Imam Al-Baqir yang patut kita simak.
Di sela kunjungan pertama Abu
Hanifah, Imam Al-Baqir langsung
menyudutkan dengan pertanyaan
(lebih tepatnya klarifikasi). “Anda
yang merubah agama kakekku (Nabi SAW) dan
hadis-hadisnya dengan konsep qiyas?” Al-Baqir
membuka obrolannya.
Imam Abu Hanifah menjawab “Ya Sidi, tetap
duduk di tempatmu karena anda memiliki hak
untuk dihormati sebagaimana pesan kakekmu.”
Abu Hanifah kemudian berlutut di hadapan
Imam Al-Baqir sembil melanjutkan obrolan
“sekarang saya yang akan
menanyakanmu tiga pertanyaan,
tolong dijawab! Pertama, siapa yang lebih lemah
[secara fisik], lelaki atau wanita?” Al-Baqir
menjawab “wanita”. Abu Hanifah “berapa jatah
wanita [dalam warisan]?” “Lelaki dua dan
wanita satu” ucap Al-Baqir tegas. “Nah, itu
adalah perkataan kakekmu
(Muhammad SAW). Seandainya saya telah
merubah agama kakekmu, maka yang tepat
menurut teori qiyas: jatah lelaki satu dan
wanita dua… karena
wanita lebih lemah dari lelaki”.
“Kedua, lebih utama mana antara
shalat dan puasa?” Abu Hanifah
meneruskan. “Shalat lebih utama”
jawab Al-Baqir. “Itu perkataan
kakekmu. Seandainya saya telah
merubahnya, saya akan mengatakan bahwa
perempuan setelah tuntas darah haidnya wajib
meng qadla’ (mengganti) shalatnya [karena
shalat lebih utama], bukan mengganti puasa.”
Abu Hanifah kembali menimpali.
“Ketiga, mana yang lebih najis antara kencing
dan sperma? ”pertanyaan ketiga dilontarkan Abu
Hanifah. “Kencing lebih najis” ucap Al-Baqir.
“Seandainya saya telah merubah agama
kakekmu, saya akan menyuruh orang yang
kencing untuk mandi dan orang yang keluar
sperma agar berwudlu’ saja. Saya berlindung
pada Allah SWT , agar tidak sampai merubah
agama kakekmu dengan konsep qiyas.” Imam
Abu Hanifah menutup obrolan. Seketika Imam
Al-Baqir memeluk Abu Hanifah dan mencium
keningnya untuk kemudian dipersilahkan duduk
secara terhormat.
Dalam obrolan singkat ini banyak
hikmah dan pelajaran yang bisa kita petik.
Diantaranya, ulama masa lalu gemar sekali
berdiskusi karena ilmu pengetahuan akan
mencapai kematangannya setelah didiskusikan.
Ulama klasik bukan tipikal kelompok
yang mudah mengklaim dan
menjustifikasi orang yang berbeda pendapat
sebagai pihak yang salah. Rasionalitas yang
dikembangkan oleh ulama klasik adalah
rasionalitas yang tak sampai melabrak hukum
dan
kesepakatan kaum Muslimin.
Kisah ini juga memotret tentang sikap saling
menghormati antara ulama: Al-Baqir sebagai
pakar fikih Madinah dan Abu Hanifah
sebagai pakar sekaligus imam
mazhab.
Kisah di atas saya kutip dari buku
Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyah karya Imam
Abu Zuhrah, seorang ulama Al-Azhar yang
hidup antara 1898-1964 M dan terkenal sangat
produktif.
Wallahu a’lam
Artikel keren lainnya: